Kapal Harus Bayar Pajak Antidumping, Pengusaha Shipyard Protes
jpnn.com, BATAM - Pengusaha Shipyard, Provinsi Kepri, Hengky Suryawan protes terkait rencana penerapan bea masuk anti dumping terhadap impor produk Hot Rolled Plate (HRP) yang berlaku bagi tiga negara (Tiongkok, Singpura, dan Ukraina).
Menurut Hengky, kebijakan tersebut mengancam keberlangsungan perusahaan shipyard yang ada di Provinsi Kepri.
"Menteri Keuangan tidak pernah melakukan sosialisasi tentang PMK Nomor 50 Tahun 2016 tentang bea masuk tersebut. Namun langsung membuat kita terkejut, dengan nota dinas untuk penerapan PMK itu terhitung 25 Januari 2019 lalu," ujar Hengky Suryawan, kemarin di Tanjungpinang
Pemilik, PT. Bahtera Bestari Shipping (BBS) tersebut lantas mempertanyakan, kenapa kenapa kebijakan tersebut hanya berlaku bagi tiga negara. Sementara masuk dari negara-negara di luar itu, tidak dikenakan biaya. Menurut Hengky, kondisi ini, akan membuat investasi asing yang bergerak dibidang shipyard akan melirik negara-negara lain.
"Selain mengancam perusahaan shipyard untuk gulung tikar, juga akan menimbulkan banyaknya angka pengangguran," tegas Hengky.
Disebutkan Hengky, berdasarkan PMK Nomor 50 Tahun 2016, besar bea masuk anti dumping dari Republik Rakyat Tiongkok adalah sebesar 10,47 persen. Kemudian dari Singapura adalah sejumlah 12,50 persen. Sedangkan dari Ukraina adalah 12,33 persen.
"Di luar itu, setiap bahan baku yang masuk dari tiga negara tersebut juga dikenakan bea masuk tambahan sebesar 15 persen," jelas Hengky.
Masih kata Hengky, pihaknya sekarang ini tidak bisa mengirim kapal yang sudah jadi. Karena terganjal dengan rencana penerapan ini. Disebutkannya, untuk bea masuk bagi bahan baku pembuatan kapal ukuran 300 fit, pihaknya harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp2,5 miliar.