Keindahan Tak Berujung Sisi Utara Pulau Seram
Setelah beberapa saat terdiam mengagumi kecantikan sungai, tiba-tiba mesin boat dimatikan. ''Pelan-pelan sa (saja, Red) Caca. Di sini tempat buaya biasa keluar,'' ujar Ahmad sambil menatap tajam pinggiran tanah basah di bibir sungai.
Cuaca terik memang menjadi momen terbaik bagi para reptil itu untuk berjemur dan memanjakan diri. Namun, bukan hanya tepi sungai yang diamati, pinggir boat yang kami tumpangi pun tidak luput dari pantauan.
Rasa deg-degan dan takut cukup meliputi hati para penumpang. Sebab, reptil tersebut bisa saja memunculkan separo badannya ke permukaan atau menyenggol perahu. Sayang, hasilnya nihil. Tampaknya, jadwal sunbathing para buaya itu dibatalkan.
Perjalanan terus kami lanjutkan dengan menyusuri sungai. Tidak seberapa lama, pemandangan unik terpampang di sisi kiri-kanan sungai. Beberapa lelaki separo baya membelah sebatang pohon sagu. Ada pula yang mengayak tepung basah dan menyaring sisa pembuangan dengan menggunakan perkakas alami.
Sungguh aktivitas tradisional yang sudah sangat jarang ditemui di Kota Ambon. Di situlah dapur pembuatan bahan baku makanan yang mirip lem tersebut dibuat. Boat kami lantas menepi sekaligus melihat langsung cara pembuatannya. Tidak perlu sungkan dan malu. Sebab, para wate –sebutan Paman dalam bahasa Seram– dengan senang hati mengajari pembuatan sagu manta.
Di dalam perjalanan pulang itulah, tanpa sengaja, seekor buaya sepanjang dua meter berbadan tambun melintas. ''Itu dia, itu buaya. Pelan-pelan. Kasih mati mesin,'' teriak Ahmad.
Namun, rupanya jadwal berjemurnya terganggu oleh kedatangan kami. Sang penguasa sungai tersebut kemudian memalingkan badan dan segera masuk ke sungai.
Setelah itu, kami melaju pulang ke desa untuk beristirahat. Tetapi, sebelum kami benar-benar merebahkan badan, boat harus berlabuh di sebuah pulau berpasir putih tidak berpenghuni. Hamparan pasir halus membuat tidak sabar untuk berlari dan menari di atasnya. Air berwarna biru jernih pun sayang bila dilewatkan begitu saja.