Kemendikbud Diminta Luruskan Soal Syarat Publikasi Terindeks Scopus
“Makanya kami minta Kemendikbud kembali meluruskan hal tersebut agar tidak terjadi salah tafsir,” ucapnya.
Fikri menambahkan, hal itu merupakan bagian dari usulan para peneliti, mahasiswa magister, dan doktoral, karena adanya biaya tambahan bagi setiap orang yang akan mempublikasikan karyanya ke jurnal terindeks scopus.
“Kami sendiri mengalami harus membayar setidaknya USD 100 agar bisa publikasi ke jurnal tersebut,” katanya.
Meski demikian, Fikri mendorong agar penelitian ilmiah hasil karya anak bangsa dapat terus dipublikasikan sesuai kewajiban perundangan.
“Artikel yang disitasi berarti telah mengandung konten yang layak secara ilmiah sebagai sumber kebenaran pengembangan keilmuan,” katanya.
Selain itu, karya ilmiah dalam negeri yang banyak disitasi pun akan mendapatkan h-index tinggi sebagai bukti indikator pengakuan dunia akademik terhadap eksistensi dan kualitasnya pendidikan di Indonesia.
Hal tersebut sesuai dengan visi pendidikan tinggi Indonesia menuju World Class University. “Pengalaman ketika berdialog dengan lembaga penelitian asal Bremen, Jerman, bahwa penelitian di negara itu adalah sebuah kemestian agar terus berinovasi teknologi,” lanjut Fikri.
Namun demikian menurutnya, publikasi adalah sesuatu yang berbeda dengan penelitian. “Terutama untuk hasil penelitian teknologi yang dipatenkan, tentu aksesnya harus seizin peneliti atau penulisnya.”