Kementan Berikan Rekomendasi Teknologi untuk Hadapi Perubahan Iklim
"Ini berpengaruh pada cara budi daya-nya. Selanjutnya dari literasi, pengetahuan tentang iklim yang harus diketahui dan dibaca oleh para petani,” ungkap Bayu.
Kebutuhan teknologi dalam menghadapi perubahan iklim bisa berupa prediksi cuaca, jumlah air, kondisi tanah dengan pemasangan sensor, waktu pemupukan, jumlah pemupukan, cara menghadapi, dan menangani serangan hama.
Informasi yang didapat melalui sensor tersebut harus dapat dipahami oleh petani dan diakses secara realtime. Selain digunakan pada sisi budi daya, teknologi smart farming bisa diterapkan juga sebagai penduga emisi gas rumah kaca.
“Pengukuran dan pendugaan emisi gas rumah kaca juga merupakan suatu hal yang penting di dalam upaya untuk menentukan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” tambah Bayu.
Salah satu praktisi teknologi irigasi tetes komoditas hortikultura pada lahan kering, Yance mengatakan banyak lahan di Indonesia yang tidak dimaksimalkan secara baik akibat iklim dan ketersediaan air terbatas.
“Masalah selanjutnya, petani di Indonesia 90 persen berusia di atas 47 tahun. Sangat sedikit generasi muda dan anak petani yang ingin melanjutkan profesi orang tuanya," kata Yance
"Pola pertanian masih mempertahankan sistem pertanian konvensional atau lebih mengandalkan tenaga kerja manusia dan petani tidak mengetahui analisis unsur hara tanah,” sambungnya.
Yance melanjutkan bahwa dengan didukung smart farming membuat petani dapat mengetahui sensor ph tanah dan kelembapan, sensor suhu, perkiraan cuaca, kontrol pengairan, sensor NPK, dan water flow.
Pemanfaatan teknologi di lahan menjadi poin penting dalam peningkatan produktivitas pertanian dan akan berpengaruh pada kesejahteraan petani.