Kenaikan PPN 12 Persen Dikhawatirkan Memicu Pengurangan Tenaga Kerja
jpnn.com, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 dikhawatirkan akan memicu pengurangan tenaga kerja, termasuk petani di industri hasil tembakau (IHT).
Pasalnya, di tengah perlambatan ekonomi yang ditandai dengan deflasi selama lima bulan berturut-turut, penurunan daya beli masyarakat yang diikuti kenaikan biaya produksi berdampak secara langsung pada operasional industri.
“Kenaikan PPN hingga 12 persen pasti akan berdampak pada biaya produksi. Peningkatan biaya sangat berpotensi besar memicu kenaikan harga produk akhir, sebab PPN yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya bahan baku yang dibeli oleh produsen. Selain bahan baku, semua proses produksi juga akan terkena dampak dari kenaikan PPN, termasuk biaya operasional seperti energi, transportasi, dan lainnya,” kata pemerhati industri tembakau Hananto Wibisono.
Naiknya PPN juga akan diikuti dengan kenaikan tarif PPN atas penyerahan rokok yang juga naik menjadi 10,7 persen dari yang sebelumnya 9,9 persen.
Jika dibiarkan, orang pun berpotensi beralih menggunakan rokok ilegal yang semakin mengancam situasi buruh, petani, serta semua yang terlibat dalam IHT dengan adanya bayang-bayang perpindahan konsumsi yang tergambar dalam penurunan daya beli terhadap produk legal.
Saat ini, pendapatan negara dari cukai IHT mencapai Rp 213 triliun dengan rantai ekonomi yang melibatkan lebih dari enam juta orang.
Jika tidak berhati-hati, dampak negatifnya dapat menyebabkan sendi-sendi perekonomian tertatih-tatih untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 8 persen.
“Produsen berpotensi menaikkan harga jual produknya, meskipun ini berisiko terhadap serapan pasar. Jika harga jual naik, permintaan berpotensi menurun yang berpengaruh pada penjualan dan laba perusahaan. Jika penurunan permintaan dan keuntungan signifikan, produsen terpaksa mengambil langkah ekstrem seperti PHK untuk mengurangi biaya operasional,” ujarnya.
Survei terbaru yang dirilis Indodata, angka peredaran rokok ilegal di Indonesia pada 2024 mencapai 46,95 persen dan menimbulkan dampak kerugian negara yang jumlahnya mencapai Rp 97,81 triliun.
Padahal, proyeksi kerugian negara pada 2022 lalu jumlahnya ‘hanya’ sekitar Rp 53 triliun. Kementerian Keuangan juga pernah mencatatkan kerugian negara yang cukup besar akibat rokok ilegal, mencapai Rp 13,48 triliun pada 2021.
“Besar sekali kerugian negara akibat rokok ilegal. Padahal, negara butuh sumber daya untuk melakukan pembangunan. Permasalahan rokok ilegal bukan sekadar pendapatan negara, tapi ada faktor lainnya, ada buruh, petani, dan lain-lain,” ujar Direktur Eksekutif Indodata Danis T.S Wahidin saat merilis hasil survei (18/11).
Peningkatan harga rokok menjadi penyebab pergeseran konsumsi ke rokok yang lebih murah, yang berkontribusi pada meningkatnya konsumsi rokok ilegal.
Untuk itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam merumuskan kebijakan yang berdampak pada kenaikan harga rokok, karena berkaitan secara langsung dengan perubahan pola konsumsi masyarakat ke rokok ilegal, serta keberlangsungan pekerja yang terlibat dalam industri.
Sebelumnya, terjadi pengetatan yang dianggap berlebihan terhadap IHT. Selain keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan) yang melarang penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan area bermain anak, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga mendorong perumusan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik (RPMK Tembakau).