Kenangan Ariel Heryanto Untuk Sahabatnya Intelektual Politik Arief Budiman
Saya sendiri mulai bekerja di National University of Singapore setahun sebelumnya. Ketika saya bergabung dengan Arief di Universitas Melbourne tahun 2000, buntut reformasi 1998 masih panas.
Arief sering tampil di acara publik untuk memberikan komentar tentang politik di tanahair.
Tidak nyaman di Melbourne, jauh dari Indonesia
Sejak bergabung kembali dalam satu kantor dengan Arief di Melbourne, saya saksikan Arief tidak merasa nyaman dan berbahagia.
Tidak seperti dulu di Salatiga. Bukan karena tempat kerjanya di Melbourne tidak baik. Tetapi ruang gerak untuknya sebagai aktivis atau intelektual publik sangat terbatas.
Tuntutan kerjanya sebagai seorang akademik/peneliti dan bebannya seorang birokrat tidak cocok dengan minat dan bakat utamanya.
Hati dan pikirannya tetap pada gejolak politik dan aktivisme di Indonesia. Arief pensiun sekitar tahun 2006. Beberapa tahun kemudian kesehatannya merosot.
Perjumpaan kami yang terakhir (2018) sangat mengharukan. Ia terkulai lemah di kursi roda. Tapi semangatnya berlimpah.