Kenikmatan Kecil di Masupa Ria, Desa Lumbung Emas
Persoalan lain adalah ketersediaan tenaga medis. Baru pada Februari lalu ada seorang perawat yang menetap di sana. Sebelumnya, kalau ada yang sakit, pilihannya ditandu berjam-jam atau naik ojek seharga Rp 500 ribu sekali jalan ke Desa Batu Makap. Dilanjut taksi air ke Puruk Cahu seharga Rp 300 ribu.
Arbela, kepala SDN 1 Masupa Ria, pernah mengalami kejadian mengenaskan. Saat keguguran, sang istri harus ditandu tiga jam menuju Puskesmas Desa Sei Pinang. ”Saya masih trauma sampai sekarang,” katanya.
Karena itu, Arbela kini memilih tinggal di Palangka Raya. Hanya sekali dalam enam bulan atau bahkan setahun dia menengok sekolah yang dia pimpin.
Endang Darmayanti, anak buah Arbela di SDN 1 Masupa Ria, juga mengaku hanya mengambil gaji enam bulan sekali. Penyebabnya, apalagi kalau bukan mahalnya transportasi.
Gaji Endang per bulan Rp 1.225.000. Perinciannya, Rp 425 ribu dari statusnya sebagai honorer. Ditambah Rp 500 ribu dari bantuan operasional sekolah (BOS). Dan, Rp 300 ribu lainnya corporate social responsibility (CSR) perusahaan kayu yang beroperasi di wilayah desa.
Nah, untuk mengambilnya di bank di Puruk Cahu, dia harus naik ojek ke Batu Makap seharga Rp 500 ribu. Dilanjut taksi air Rp 300 ribu ke Puruk Cahu. Belum biaya penginapan dan makan yang bisa mencapai Rp 500 ribu.
”Sekali ambil gaji bisa habis gaji sebulan,” katanya. Beruntung, masih ada listrik yang menolong Masupa Ria. Meski dikepung belantara, desa tersebut terang benderang.
Setrum itu berasal dari 12 pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang sumbernya air terjun. Ada 20 air terjun yang mengelilingi Masupa Ria. Seorang warga bernama Junaidi-lah yang dulu jadi pionir yang memanfaatkan air terjun untuk tenaga listrik itu.