Keren, Badan Ini Membuka Ruang Atas Kritik Sastra
Putu Fajar Arcana mengapresiasi terbitnya buku antologi kritik sastra ini. Dia menilai sudah lama buku tentang kritik sastra tak ada.
Ketika diminta menjadi juri, dia bertanya dalam hati, “apakah masih ada kritik sastra, karena jujur saja, ranah ini makin ditinggalkan. Hal ini diperparah dengan matinya majalah sastra tahun 1980-an dan 1990-an, Horizon. Akibatnya, krtik sastra tak punya tempat.”
Bli Can, sapaan Putu, lebih lanjut mengatakan dari sisi naskah yang dibaca dan kemudian disaring menjadi 20 naskah terbaik, semuanya sudah mengarah ke bentuk penulisan sastra.
“Saya kagum, karena 20 tulisan yang akhirnya terangkum dalam antologi kritik ini, menulis kritiknya sudah seperti karya sastra itu sendiri. Sebaliknya tak menggunakan istilah atau bahasa ilmiah yang biasa digunakan untuk jurnal,” katan Bli Can.
Apresiasi juga disampaikan peneliti sastra lisan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Sasti Sunarti.
Menurut dia, sayembara kritik sastra ini sangat penting, karena ruang untuk kritk sastra sangat terbatas.
Dia menyimpulkan berdasarkan objek kajian, kritik sastra ini meliputi situasi sastra dan kebudayaan Indonesia saat ini. Misalnya sastra lisan, sastra manuskrip, sastra anak, sastra Peranakan, sastra perjalanan, dan sastra mutakhir.
Sedangkan Muhammad Novinato, yang merupakan pegiat sastra dan budaya di Komunitas Vanderwijck menceritakan bagaimana proses dirinya mengikuti sayembara kritik sastra ini.