Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Ketika Jokowi (Dahulu) Memilih Ma’ruf Amin

Oleh: Sonny Majid

Kamis, 07 November 2019 – 03:19 WIB
Ketika Jokowi (Dahulu) Memilih Ma’ruf Amin - JPNN.COM
Presiden Jokowi memperkenalkan Kabinet Indonesia Maju. Foto: Ricardo/JPNN.com

Wajar lah, pemandangan tersebut memicu banyak spekulasi di ruang publik. Seperti opini yang berkembang tentang penetapan menteri jilid II Jokowi hanya mendengarkan bisikan orang-orang di lingkar istana. Ma’ruf Amin sendiri sebagai ulama, pasti memilih untuk tidak berprasangka.

Hal itu bisa dilihat dari pernyataan-pernyataannya di media yang menegaskan “Siapa pun menteri-menteri yang dipilih Presiden Jokowi, itu sudah yang terbaik. Baik buat Pak Jokowi, baik pula buat saya.” Mestinya, Jokowi tetap meminta masukan kepada Ma’ruf Amin menyangkut keputusan yang bersifat strategis agar tidak menimbulkan kegaduhan politik.

Tragisnya lagi, baru beberapa hari menjabat, Ma’ruf Amin sudah dinilai tidak punya peran apa-apa oleh sejumlah kalangan. Tidak baru kali ini saja terjadi. Dulu saat pilpres Ma’ruf Amin dianggap tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perolehan suara.

Ironisnya penilaian itu keluar dari mulut internal tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin sendiri. Siapa bilang, justru Ma’ruf Amin memberikan sumbangan kuantitatif yang besar dari suara pemilih di Jawa, khususnya basis-basis kuat NU, ditambah lagi suara kelompok minoritas.

Jawa Timur misalnya sebagai lumbung terbesar NU, menyumbang kemenangan 65 persen. Karena basis NU inilah, maka secara kualitatif pun, kefiguran Ma’ruf Amin mampu menjangkau semua elemen NU baik struktural maupun kultural, termasuk faksi-faksi yang ada di dalam NU sendiri.

Kemudian dukungan kelompok minoritas terhadap Ma’ruf Amin. Sokongan ini lebih disebabkan karena ada hubungan yang sedemikian baik dan harmonis antara NU dengan tokoh-tokoh atau pimpinan-pimpinan non-Muslim.

Rasanya harus dibantah jika Ma’ruf Amin dianggap tidak memiliki nilai strategis. Terpilihnya Ma’ruf Amin tidak hanya bicara tentang bagaimana menduetkan kelompok nasionalis dan agama (Islam). Tetapi juga budaya paternalistik, di mana di tengah hiruk-pikuk politik yang tidak jelas juntrungannya, masyarakat Indonesia butuh figur panutan (bapak bangsa), bijaksana dan berpengalaman dalam hal meredam persoalan-persoalan strategis, seperti rentetan konflik di Indonesia yang memiliki rekam yang sedemikian panjang. Ketika tidak mampu ditengahi, berujung pada status quo.

Kita harus memahami siapa Ma’ruf Amin. Dia adalah tokoh yang selalu mengusung konsep “jalan tengah,” menjunjung tinggi nilai-nilai kesepakatan dan perimbangan. Jokowi harusnya sadar itu. Seandainya Jokowi tidak menggaet Ma’ruf Amin, saya yakin Jokowi kalah dalam kontestasi Pilpres. Bagaimana tidak, Jokowi berhadapan dengan tren politik Islam yang menguat.

Banyak yang mengira, Mahfud MD-lah yang dipilih. Ternyata meleset, di penghujung Jokowi justru mengambil KH Ma’ruf Amin (KMA) yang secara kuantitatif hitungan lembaga survei berada di posisi bontot, kalah jauh dari Mahfud MD.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close