Ketua MK Sebut Para Calon Advokat Harus Kuasai Semua Hukum Acara
Dia menjelaskan, dalam pengujian UU terhadap UUD atau judicial review, warga negara Indonesia dapat mengajukan gugatan formil maupun materiil. Uji formil adalah gugatan terkait proses atau tata cara pembentukan suatu UU.
Pengjuan formil bisa diajukan sepanjang belum melewati 45 hari sejak satu UU itu diundangkan. Artinya, tidak boleh melewati 45 hari. Kalau pengujian formil dikabulkan maka satu UU itu dinyatkan inkonstitusional. “Dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat,” katanya.
Sedangkan uji materiil adalah menguji substansi pasal atau ayat tertentu dari sebuah UU yang dianggap mempunyai persoalan konstitusionalitas norma. Artinya, menguji pasal per pasal atau bisa juga ayat per ayat.
Pengujian materiil tidak mempunyai batas waktu sehingga UU yang sudah berpuluh-puluh tahun diberlakukan, pasal-pasal atau ayat-ayatnya masih bisa diuji. “Sampai sekarang masih dilakukan pengujian,” katanya.
Sedangkan pihak atau subjek hukum yang bewenang mengajukan gugatan UU ke MK, yakni Warga Negara Indonesia (WNI), masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara.
Namun, ada syarat kumulatif mengenai legal standing penggugat baik uji formil dan materiil UU, yakni WNI ini merupakan pihak yang dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan diberlakukannya suatu UU dan ada sebab akibat.
“Kerugian hak konstitusional yang dimiliki dengan berlakunya UU itu harus sebab akibat. Ini kadang-kadang pemohon suka tidak paham dengan syarat-syarat ini, sehingga banyak permohonan di MK itu kemudian tidak bisa melewati tahapan legal standing ini, sehingga MK tidak bisa kemudian menilai pokok permohonan,” ucapnya.
Dia menjelaskan pendamping atau kuasa hukum di MK bukan hanya dari advokat. Ini sesuai dengan semangat pendirian MK, yakni peradilan untuk menjemput warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan, termasuk dari kalangan tidak mampu.