Ketum LDII: Reformasi Jangan Sampai Mengorbankan Cita-Cita Pendirian Negara Ini
Skor indeks tersebut stagnan, Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115.
“Sementara di bidang hukum dan HAM, penegakan masih memerlukan kolaborasi dengan masyarakat. Bahkan terdapat istilah no viral no justice. Ini menunjukkan penegak hukum harus berupaya lebih keras lagi,” paparnya.
Sementara desentralisasi pemerintahan, masih mengakibatkan peraturan yang tumpang tindih yang menyulitkan investasi.
“Reformasi bukan doa paling mustajab, tapi membutuhkan proses perbaikan dan pengawasan. Dua hal itu bila tidak dilaksanakan, Reformasi hanya mengorbankan anak-anak bangsa dan tujuan berdirinya republik ini,” tegas KH Chriswanto.
Senada dengan KH Chriswanto, Sejarawan Universitas Diponegoro Singgih Tri Sulistiyono mengatakan reformasi tidak hanya mencakup pergantian kekuasaan, atau perubahan kelembagaan, tetapi, juga transformasi budaya politik yang mendorong akuntabilitas dan transparansi untuk mencapai cita-cita bangsa.
“Hendaknya reformasi itu tidak hanya sekadar kebebasan untuk saling berebut kekuasaan melalui cara-cara tertentu yang dilegalkan sesuai aturan, tetapi, hendaknya sebagai upaya bagaimana hak-hak kesejahteraan publik, dan hak-hak ekonomi publik itu juga didistribusikan secara merata,” kata Singgih.
Singgih melanjutkan meskipun telah berlalu lebih dari dua dekade sejak gerakan reformasi dimulai, perjalanan ini belum mencapai puncaknya.
Singgih yang juga merupakan Ketua DPP LDII ini mengajak generasi muda untuk menjadikan peristiwa reformasi sebagai bagian dari sejarah untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia.