Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Kisah-Kisah Pemilik Resto Khas Indonesia di Berlin (1)

Lodeh Jadi Menu Favorit, Laris Manis saat Musim Dingin

Selasa, 16 Juni 2015 – 00:00 WIB
Kisah-Kisah Pemilik Resto Khas Indonesia di Berlin (1) - JPNN.COM
Ronald Christian. Foto: Diar Chandra/Jawa Pos

jpnn.com - Diplomasi kuliner. Demikian para pemilik warung bercita rasa Indonesia mengumpamakan aktivitas mereka di Berlin, Jerman. Dengan menu Nusantara yang disajikan di meja makan, warga asing pun menjadi ”tunduk” pada kuliner Indonesia. Wartawan Jawa Pos DIAR CANDRA sempat mengunjungi tempat-tempat kuliner Nusantara itu di sela-sela meliput final Liga Champions.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

PAPAN kayu cokelat bertulisan ”Tuk Tuk Restaurant” menjadi penanda cukup kuat buat Anda yang mencari kuliner Asia atau Asia Tenggara di Berlin. Terletak di kawasan Schöneberg atau tepatnya beralamat 2 Grossgörschen Strasse, nuansa budaya Indonesia langsung terasa begitu membuka pintu rumah makan seluas 160 meter persegi itu.

Alunan musik gamelan Sunda pun pelan terdengar. Dekorasi ruangan yang didominasi anyaman bambu menyeret pengunjung pada romansa suasana pedesaan Jawa tradisional.

Menengok ke sisi kiri ruangan paling depan, terdapat lukisan perempuan-perempuan Bali sedang mandi. Masih di ruangan yang sama, pada meja kasir terdapat patung suami istri dari kayu yang dipercaya dalam mitologi Jawa sebagai lambang kesuburan, loro blonyo.

Dibuka sejak 1984 atau saat Perang Dingin masih berlangsung, Tuk Tuk menjadi restoran tertua bercita rasa Indonesia yang bertahan sampai sekarang di ibu kota Jerman itu. Meski telah tiga kali berganti pemilik, Tuk Tuk tak kehilangan pelanggan.

Ronald Christian, pemiliknya kini, menyambut Jawa Pos saat berkunjung pekan lalu. Restoran yang hanya buka sore mulai pukul 17.00 waktu setempat itu bisa menampung 70–80 orang dengan 35 meja yang ada.

”Kami cuma buka lima jam per hari dan menyediakan makan malam. Pernah ada tamu yang nanya kenapa hanya lima jam, saya jawab jujur karena kami kekurangan staf di sini,” terang Ronald. Pria kelahiran Jakarta tersebut mengatakan, hanya ada beberapa orang yang bekerja di Tuk Tuk.

Diplomasi kuliner. Demikian para pemilik warung bercita rasa Indonesia mengumpamakan aktivitas mereka di Berlin, Jerman. Dengan menu Nusantara yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close