Kisah Preman Tobat, Pernah Dilempar ke Laut, Lolos Operasi Petrus
jpnn.com - AAS Dani Hasbuna atau akrab Kang Aas sudah puluhan tahun nyemplung di dunia keras premanisme Tasik, Bandung, Sumatera, Bali, dan wilayah lainnya di Indonesia.
Pria kelahiran Tasikmalaya 1958 itu sudah nongkrong di Terminal Gunung Pereng, Tasikmalaya sejak kelas dua SD, setelah meletusanya Gerakan 30 September atau terkenal G30 S/PKI, karena ingin memperoleh banyak uang dan makanan yang enak.
Saat itu dia membayangkan menjadi sopir itu banyak duit. "Makanya sejak itu saya mulai main-main ke terminal di Gunung Pereng," ungkapnya kepada Radar Tasikmalaya (Grup JPNN) saat ditemui di Rumah Sakit TMC, Kota Tasikmalaya kemarin.
Sejak saat itu, Aas mulai badung. Dia kerap tidur di terminal semalaman. Kerap bergaul di terminal, membuat Aas remaja sudah bisa mengendarai mobil.
Pergaulan terminal pun membuatnya berjiwa keras. Aas pernah pergi ke Pangandaran. Dia berjalan kaki dari Tasik ke kawasan pantai di selatan Jawa Barat itu. Jarak Tasik-Pangandaran 100 kilometer lebih.
Ia juga pernah naik di atas bus dari Padayungan menuju Jakarta. Tujuannya, Aas ingin menghadiri Jakarta Fair. "Saya ingat waktu itu ketika SMP tahun 70-an," ujar pria yang kini menjadi salah satu tokoh masyarakat Tasikmalaya ini.
Karena sering main, pendidikan Aas terbengkalai. Ia pun berbeda paham dengan kedua orang tuanya. Ia pun kabur alias berkelana ke Bandung. Aas benar-benar hidup terlantar di Kota Kembang itu, karena tanpa membawa bekal apapun dari Tasik.
"Waktu itu saya langsung berpikiran untuk mendapatkan uang dan memilih untuk ikut dengan orang-orang dewasa. Kerja di Kebon Kalapa di Cicadas, Kosambi," katanya.