Kisah Spiritual: Yang Rindu dan Dirindukan
Oleh: Prof Dr A Effendi KadarismanMaka, untuk sementara, bisa saya simpulkan: Ketika dengan ikhlas jiwa-raga ini kita pasrahkan kepada Allah, ada cahaya-iman yang dilihat-Nya.
(Bukankah ”Islam” berarti pasrah diri?) Lalu muncul perintah: Bagikanlah cahaya itu dengan hamba-hamba-Ku yang lain. Saya jadi ingat ungkapan nuurun ’alaa nuurin (”cahaya di atas cahaya”, Alquran 24: 35), yang merujuk pada cahaya Allah atas hati orang-orang yang beriman.
Cahaya adalah metafora terbaik bagi kebenaran Islam. Alquran adalah cahaya yang membedakan antara yang haq dan batil.
Nabi SAW adalah pembawa cahaya kerasulan yang mengusir kegelapan kemanusiaan. Dan, Allah SWT adalah Maha Cahaya yang menerangi jiwa semesta, jiwa seluruh jin dan manusia.
Dalam berpasrah diri yang total, muncul rasa bahagia, juga takut-dan-harap. Seluruh jiwa-raga bermohon.
”Ya Allah, salatku belum sepenuhnya tunduk-khusyuk di hadapan-Mu, tapi terimalah karena luasnya rahmat-Mu. Pemahamanku atas firman-Mu amat terbatas, tapi jangan jadikan dia penghalang bagi hidayah-Mu. Dalam bersedekah saya takut ada rasa pamer; maka jadikanlah dia amal yang ikhlas, semata mengharap rida-Mu.”
Dalam berpasrah diri yang total juga terkadang muncul rasa haru dan tangis bahagia. Sungguh benar kata Alquran (5: 86), ”Kau lihat mereka sembap berlinang air mata karena menemukan kebenaran.”
Maka bagiku bahagia lebih merupakan jalan, merupakan laku. Bahagia adalah ketika rindu insani bertemu dengan rindu Ilahi. Hati yang rindu berjamaah dan dirindukan oleh masjid. Jiwa yang rindu bertadarus dan dirindukan Alquran.