Konflik Papua Sangat Rumit, Perlu Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik
Namun, kalau tidak berbasis fakta riil di lapangan, maka hasilnya kemungkinan tidak akan efektif.
Sebagai contoh, program otonomi khusus Papua dengan dana triliunan rupiah yang mengikutinya, AS Hikam menilai masih menjadi pertanyaan sejauh mana efektifitasnya.
"Memang secara normatif sudah dilakukan pembangun Indonesia untuk Papua. Tapi persoalan paling krusial adalah pada penanggulangan masalah korupsi. Inilah yang membuat masyarakat dengan mudah kecewa. Entah benar atau tidak, bagaimana pejabat yang menikmati dan masyarakat masih miskin," kata Hikam.
Problem lainnya bagi Hikam, bagaimana memosisikan masyarakat Papua secara humanistik agar merasa dihargai.
"Dalam bahasa Jawa bagaimana kita Ngewongke Wong. Orang Papua dilibatkan dan didengarkan. Sekarang ada orang bicara Papua cenderung bicara 'kami versus mereka' Bukan solodarity making. Ini juga jadi persoalan," katanya.
Pembicara lain Bobby Adhityo Rizaldi menilai, pembangunan di Papua sebenarnya sudah terlegislasi dan teregulasi dengan baik.
Di antaranya dengan lahirnya UU 21/2001 tentang Otsus Papua.
Kemudian Perpu No.1 tahun 2008 yang mengamanatkan agar Papua mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, percepatan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan dalam rangka kesetaraan.