Konon Sebelum Meninggal, Aurel Jalani Hukuman Fisik Saat Latihan Paskibra
"Menjadi pengibar bendera pada saat perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia, setiap 17 Agustus tentulah mimpi banyak anak, oleh karena itu perlu didukung semua pihak demi kepentingan terbaik bagi anak," tandasnya.(fat/jpnn)
Berikut rekomendasi KPAI untuk evaluasi pelatihan Paskibra belajar dari kasus Aurel:
1. Seluruh calon paskibra yang lolos seleksi, yang akan dilatih khusus harus diperiksa kesehatannya secara menyeluruh dengan check up di Rumah Sakit Pemerintah (RSUD) yang sama, pembiayaan ditanggung oleh pemkot. Sehingga parameter yang digunakan sama. Bukan si calon paskibra di suruh menyertakan surat keterangan sehat dari RS berbeda-beda bahkan mungkin hanya dari Puskesmas.
2. Pelaksaaan pelatihan harus dipantau oleh ahli dibidang pelatihan fisik dan pengawasan dilakukan dengan seksama, semua menjadi tanggungjawab Pemkot/Pemkab, kalau ditingkat propinsi oleh Pemprov dan kalau ditingkat nasional oleh Pemerintah Pusat. Hal ini penting untuk melindungi anak-anak dari pelatihan fisik yang diluar kewajaran usia mereka.
3. Seharusnya dalam proses latihan tidak ada hukuman fisik seperti di tampar sebagaimana diuraikan sang bunda AQA. Kalaupun dierapkan hukuman fisik seharusnya tetap mempertimbangkan usia anak, jenis kelamin dan riwayat kesehatan anak atau kondisi anak saat menjalani latihan fisik. Menghukum push-up misalnya, harus terlebih dahulu para calon paskibra dilatih bagaimana push-up yang benar sehingga menghindari cedera. Push-up dengan mengepal tangan sebagaimana diceritakan ibunda AQA seharusnya tidak terjadi.
Termasuk apakah setelah latihan fisik baris berbaris berjam-jam, aman jika para calon Paskibra tersebut diwajibkan latihan fisik berenang? Seharusnya hal seperti ini dapat meminta pendapat ahlinya, misalnya dokter RSUD. Hal ini dapat ditanyakan ahlinya dulu sebelum mencantumkan jadwal kegiatan tersebut dalam rundown kegiatan pendidikan dan pelatihan calon paskibra.