Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Konstruksi Kebutuhan Hukum PERPPU KPK

Oleh: Anton Doni Dihen

Sabtu, 19 Oktober 2019 – 11:10 WIB
Konstruksi Kebutuhan Hukum PERPPU KPK - JPNN.COM
Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 1994-1996, Anton Doni. Foto: Dokpri for JPNN.com

Persoalan Keadilan

Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 lahir dari keprihatinan terhadap persoalan korupsi serius yang berkembang pada masa Orde Baru. Dalam perjalanan, ternyata persoalan korupsi justru berkembang cepat pada masa setelah reformasi, dengan beberapa kasus yang patut dianggap sebagai kasus besar yang paling menarik perhatian publik.

Pada saat yang sama, korupsi terus berkembang, di berbagai ruang urusan publik di Pusat dan di daerah, dengan skala dan modus yang beragam. Dan seiring dengan perkembangan tersebut, berkembang pula cara-cara menghindari “penangkapan” dan cara-cara pengamanan diri dari praktek korupsi. Maka lembaga-lembaga yang sejatinya menangani tindak pidana ini pun memperlihatkan kerawanan.

Undang-Undang KPK sesungguhnya lahir dari keprihatinan atas kerawanan yang faktual dalam lembaga semacam kejaksaan dan kepolisian. Dan seiring dengan godaan dan kebutuhan untuk pengamanan diri, KPK sebagai lembaga baru bukan tidak mungkin “terbeli” juga dalam segenap upaya “pengamanan” diri para koruptor, yang terjadi melalui pengalihan perhatian pada kasus yang lain dan pengabaian pada kasus tertentu.

Sekalipun dugaan pengabaian atau tidak seriusnya KPK mengurus kasus besar senantiasa ada, demikian pula dugaan adanya praktek tebang pilih juga selalu ada, kita tidak pernah melihat ada upaya serius untuk menelusuri dan memvalidasi adanya praktek seperti ini dalam tubuh KPK. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesungguhnya berada pada posisi yang cukup otoritatif untuk melakukan penelusuran dan valisasi tersebut. Namun entah karena hambatan regulasi atau karena kurangnya perhatian, pekerjaan penelusuran dan validasi tersebut tidak pernah dilakukan.

Anggap saja ada persoalan hambatan regulasi dalam melakukan penelusuran, validasi, dan pengawasan terhadap KPK terkait persoalan “perselingkuhan” tersebut, dan itulah salah satu alasan dilakukanlah revisi UU KPK. Tapi jika ditelusuri, Undang-Undang hasil revisi tidak menyediakan ketentuan yang ditujukan untuk menguatkan komitmen KPK dan mengawasi kerja KPK agar tidak melupakan kasus-kasus besar; demikian pula ketentuan yang lebih spesifik untuk menjaga KPK dari praktek tebang pilih.

Maka suatu PERPPU dapat merupakan suatu kebutuhan hukum untuk menghadirkan jawaban yang diabaikan dalam Undang-Undang KPK hasil revisi. PERPPU demikian dapat menyediakan ketentuan untuk menguatkan komitmen KPK dan mengawasi kerja KPK dalam menangani kasus-kasus besar, demikian pula menyediakan mekanisme pengawasan agar KPK dapat dikontrol dari kemungkinannya untuk tebang pilih.

Persoalan Terbatasnya Capaian KPK

Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2015 patut ditolak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News