Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Konstruksi Kebutuhan Hukum PERPPU KPK

Oleh: Anton Doni Dihen

Sabtu, 19 Oktober 2019 – 11:10 WIB
Konstruksi Kebutuhan Hukum PERPPU KPK - JPNN.COM
Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 1994-1996, Anton Doni. Foto: Dokpri for JPNN.com

Persoalan Ancaman Terhadap Hak-Hak Privat

Persoalan ancaman terhadap hak-hak privat dalam kerja penyadapan KPK adalah alasan lain di balik revisi Undang-Undang KPK.

Kita tidak tahu bagaimana magnitude dari persoalan ini, karena selama ini belum ada yang mengadu secara serius penyalahgunaan informasi hasil penyadapan di luar informasi yang terkait tindak pidana korupsi yang merugikan pihak yang disadap. Akan tetapi sebagai potensi persoalan, mungkin boleh dianggap wajar jika persoalan ini membutuhkan antisipasi.
Namun demikian, harus dikatakan bahwa Undang-Undang hasil revisi menghadirkan ketentuan yang berlebihan, yang kontraproduktif dengan misi besar pemberantasan korupsi, sementara itu tujuan spesifik pengendalian penyalahgunaan penyadapan tidak diatur secara memadai.

Undang-Undang hasil revisi malah mengatur agar penyadapan dilaporkan terlebih dahulu kepada Dewan Pengawas dan membutuhkan persetujuan Dewan Pengawas dalam rentang waktu 24 jam. Tentu saja dalam proses pelaporan dan perijinan kepada Dewan Pengawas, serta dalam rentang waktu masa persetujuan tersebut, bisa saja informasi sudah bocor dan rencana tindak pidana korupsi sudah “diamankan” dengan cepat. Ketentuan seperti ini sangat mengundang pertanyaan dan melemahkan secara serius daya serang KPK dalam kegiatan pemberantasan korupsi.

Kita memahami kebutuhan akan pengawasan terhadap kegiatan penyadapan, tetapi pengaturan penyadapan yang mensyaratkan persetujuan sebelumnya adalah pengaturan yang berlebihan, kontraproduktif, dan jelas bermuatan misi pelemahan KPK. Yang tepat adalah pengawasan berbentuk penelusuran dan validasi berbasis laporan KPK yang dilakukan Dewan Pengawas setelah kegiatan penyadapan dilakukan, sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo. Pengawasan berbentuk laporan pra penyadapan berbeda sangat jauh dengan pengawasan berbentuk penelusuran pasca penyadapan, dengan implikasi efektivitas kerja KPK yang tentu berbeda sangat serius.

Dengan demikian, ada kebutuhan hukum yang sangat serius untuk menghadirkan PERPPU yang dapat mengendalikan kegiatan penyadapan secara terukur tanpa perlu mengorbankan misi besar pemberantasan korupsi yang menyaratkan kondisi-kondisi tertentu untuk efektivitasnya. Pelaporan dan validasi pasca penyadapan oleh Dewan Pengawas, dan kewajiban untuk menghanguskan temuan penyadapan yang tidak relevan, merupakan pengaturan yang sudah cukup untuk memastikan perlindungan hak privat dalam kerja penyadapan KPK.

Persoalan Komplikasi Kepentingan Politik dan Ideologi

Persoalan dugaan bahwa ada oknum-oknum tertentu di dalam tubuh KPK yang terpapar paham radikal dan/atau sedang (atau berpotensi) menyalahgunakan kedudukan di KPK untuk tujuan politik tertentu adalah juga salah satu alasan yang menguatkan upaya revisi KPK. Persoalan ini dihembuskan begitu kuat dan mendatangkan dukungan politik yang besar dalam proses revisi KPK, karena banyak orang yang sudah terbelah dalam konstelasi politik mutakhir mudah percaya pada isu ini.

Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2015 patut ditolak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News