Kopi Cowas
Oleh Dahlan IskanDulu. Saya sering memacu teman-teman manajemen surat kabar. Dari kelompok yang tidak maju-maju. Yang omsetnya hanya di bawah 10 miliar/bulan.
Namun nama korannya begitu besar. Wartawannya begitu merasa jagoan. Jabatan pemrednya begitu prestisius.
"Secara perusahaan Anda ini kalah dengan penjual bakso di Blok S," kata saya. "Ayo, kita maju," tambah saya. Lalu kami diskusi bagaimana cara maju.
Kini contoh itu bertambah lagi: kedai kopi. Yang sampai punya omset Rp 2 miliar sehari. Yang kreatifnya bukan main. Bisa membuat kopi dengan rasa apa saja.
Saya suka kopi yang rasa pandan. Tak terbayangkan ditemukan kopi rasa pedesaan. Yang ternyata disukai orang metropolitan. Yang latar belakangnya mungkin juga dari desa.
Kesukaan saya itu mungkin juga terpengaruh masa kecil. Nasi uduk (lemak) diberi pandan. Bubur diberi pandan. Kue ditaburi irisan daun pandan. Sebelum dimasak.
Orang mati ditaburi irisan daun pandan. Tidak kuat beli bunga. Harumnya sama.
Mungkin kalau kelak ada kopi rasa nangka saya pun suka. Sudah terbiasa apa saja diberi nangka. Sejak kecil.