KPAI: Usut Kasus Kekerasan Terhadap Siswi di Mojokerto
jpnn.com, JAKARTA - Kasus cedera berat yang dialami seorang siswi SMA di Mojokerto, MH Dwi Aprilia, setelah menjalani hukuman squat jump di sekolahnya lantaran terlambat datang ke kegiatan ekstrakurikuler Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) di sekolahnya membuat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bereaksi.
Mirisnya, kasus ini terjadi hanya beberapa hari sebelum peringatan Hari Anak Nasional (HAN) bersama presiden pada 23 Juli 2018 di Pasuruan, Jawa Timur.
Berdasarkan data KPAI jumlah kasus kekerasan fisik di pendidikan paling tinggi, data bidang pendidikan KPAI per Mei 2018 ada 161 kasus.
Adapun rinciannya adalah anak korban tawuran sebanyak 23 (14,3%) kasus, anak pelaku tawuran sebanyak 31 (19,3 %) kasus, anak korban kekerasan dan bullying sebanyak 36 (22,4 %) kasus, anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak 41 (25,5%) kasus, dan anak korban kebijakan (pungli, dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah) sebanyak 30 (18,7%) kasus.
“Tahun 2018 kasus pendidikan menempati posisi keempat teratas setelah kasus pornografi dan cybercrime," ujar Retno Listyarti, komisioner KPAI bidang pendidikan, Sabtu (21/7).
Terkait tragedi kekerasan yang mencoreng dunia pendidikan ini, KPAI mendesak kasus ini harus diusut tuntas motif dan otak pelaku penghukuman fisik yang berpotensi membahayakan anak.
"Harus ada penegakan aturan agar ada efek jera bagi siapapun pelaku kekerasan di sekolah," ucapnya.
Retno menegaskan, jika ditemukan unsur kelalaian pihak sekolah dalam kontrol kegiatan ekskul di sekolah, maka pihak sekolah wajib bertanggung jawab. Apalagi peristiwanya terjadi di lingkungan sekolah.