Kucumbu Tubuh Indahku, Isu Maskulin - Feminin Berbungkus Budaya Lokal
Selama sekitar 100 menit, Garin dengan rapi memaparkan kisah hidup Juno. Film dibagi menjadi lima babak. Tiap babaknya diawali dengan narasi Juno dewasa yang menceritakan inti kisah hidupnya. Lewat verbal, tarian, dan ekspresi wajah yang intens. Penonton seolah diajak berbicara empat mata dengannya.
Khan sebagai pemeran Juno remaja menunjukkan performa akting yang memukau. Ekspresif. Dia menghidupkan peran seorang remaja yang sarat penderitaan. Garin cukup detail mengarahkan alumnus Jurusan Teater Institut Seni Indonesia Jogjakarta itu. ”Pandangan mata saja harus diatur,” tutur pria 28 tahun tersebut.
Tiap babak punya alur cerita yang mudah dimengerti. Penonton digiring terharu dengan kegigihan Juno menghadapi hidup. Sedih atas kemalangannya. Pun, sesekali terpingkal melihat kekhasan budaya lokal. Garin memang menonjolkan budaya lokal apa adanya. ”Jadi, film ini jujur dan sederhana,” katanya.
Budaya pedesaan Jawa bukan cuma latar, tapi juga penggerak cerita. Misalnya, penolakan atas tari lengger atau cara seorang warok reog (Whani Darmawan) menjaga kemampuan spiritual dengan memilih Juno sebagai gemblak. Kucumbu Tubuh Indahku pun semakin berwarna dan otentik berkat kekayaan budaya yang ditawarkan.
BACA JUGA: Ayu Ting Ting dan Shaheer Sheikh Cukup Sadar dan Logis tak Bisa Bersama
Lewat film yang merengkuh penghargaan Cultural Diversity Award dari UNESCO di ajang Asia-Pasifik Screen Awards 2018 pada November lalu itu, Garin ingin menanamkan dua hal. Selain menghargai keberagaman lewat budaya lokal, dia mengangkat nilai self love.
”Tubuh kita punya trauma, baik fisik maupun sosial. Tapi, kita tetap harus menerima dan mencintai diri kita,” tandas Garin. (len/c25/nda)