Markoem, Si Perajin Biola Handmade
Biola Bagus Bergantung pada Kayu dan Pembuatnyajpnn.com - Hampir dua dekade terakhir, Markoem membuat biola handmade. Banyak pesanan, namun tidak semuanya bisa diterima karena keterbatasan bahan.
Laporan Fahmi Samastuti, Surabaya
JEMARI Markoem bagai menari di fingerboard biola. Tangan kanannya dengan luwes menggerakkan busur. Dia memainkan komposisi Schubert yang paling populer, Ave Maria. ’’Waduh, nggak bisa pas nadanya. Kekecilan biola soalnya,’’ ucapnya sembari mengatur pasak biola. Pria lulusan MULO (SMP pada masa kolonial) tersebut ganti memainkan lagu gubahan Gesang, Bengawan Solo.
Penampilan tersebut bukan di sebuah panggung, melainkan di kampung padat penduduk belakang Tunjungan Plaza. Tepatnya, di bengkel biola sederhana. Dari rumah kecil di Jalan Kaliasin Gang V, alunan biola Markoem bersanding dengan suara motor dan anak-anak yang berlalu-lalang.
Markoem kini menekuni profesi langka, yakni perajin biola. Sebelumnya, pria kelahiran 24 Mei 1934 tersebut aktif mengisi jabatan-jabatan strategis di kantor pelayaran hingga organisasi kepemudaan seperti Pramuka dan Palang Merah Indonesia.
Tentang biola, pria berusia 80 tahun itu menyebut sebagian besar belajar secara otodidak. ’’Belajar formal pernah. Dulu sekali, di sekolah musik daerah Embong Trengguli. Sekarang sekolahnya tutup,’’ ucapnya mengenang.
Markoem nyemplung di dunia biola karena ajakan seorang teman yang penyanyi Radio Republik Indonesia (RRI). Dia memilih biola bukan murni karena minat. ’’Soalnya kalau gitaran, jari saya kapalen. Nyanyi juga dites, bengok-bengok nggak cocok,’’ kata ayah lima anak itu.
Darah seni dari sang bapak yang seorang dalang tidak bisa dibohongi. Markoem mampu menguasai permainan biola berbagai genre dalam waktu dua tahun. Pria kelahiran Peneleh tersebut melanjutkan kuliah pada 1958. Bisa dibilang, sejak saat itu ’’belajar’’ biolanya memasuki masa dormansi. Pekerjaan yang berat memaksanya berhenti memainkan alat musik gesek itu.