Masih Ada Jalan Keluar bagi Terpuruknya Rupiah
Oleh: Ichsanuddin NoorsyKetika Maret 2015 saat orang mulai sibuk dengan keterpurukan Rupiah karena USD bertengger di atas Rp 13.000, saya serta-merta menyampaikan analasis bahwa perekonomian Indonesia menjadi lampu kuning kalau Rupiah terpuruk karena USD di atas Rp 14.000. Kenapa ? Karena beban utang luar negeri yang meningkat dan meningkatnnya defisit neraca berjalan.
Yang menarik adalah berbagai pengamat dan analis baru sibuk menggunakan istilah currency war sebagai wujud strategi manipulasi nilai tukar. Padahal itu sudah dilakukan sejak Bretton Woods gagal pada 1971 dan Konsensus Washington ditegakkan pada 1980 yang tujuannya AS dengan mudah mengekspor inflasi ke negara yang tidak “menyenangkan” tujuan dan kebijakan mereka.
Pertumbuhan ekonomi negara manapun yang utang luar negerinya didominasi USD, maka pertumbuhan itu pasti bisa “dicuri”. Kasus kejatuhan Shanghai Composite Index membuktikan hal itu. Puluhan triliun dolar AS “terbang” (wipe out) sehingga banyak orang kaya RRC merugi puluhan triliun dolar AS.
Jika sumber daya strategis dan hajat hidupnya ditentukan oleh asing, produksi ditentukan pihak asing, pasar domestik dipasok asing, maka jangan heran jika nilai tukar negara itu akan turun naik. Menurut Paul Krugman, kalau nilai tukar sering mengalami volatilitas, hal itu merupakan situasi abnormal yang berulang-ulang. Disebabkan situasi abnormal itu terus menerus berulang, maka menjadi normal. Hanya, normal yang sakit.
Sebenarnya itulah yang terjadi sejak Indonesia memberlakukan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Jika disederhanakan, sejak USD mencapai Rp 8.467 pada 14 Agustus 2001 dan pada 3 Agustus 2015 menjadi Rp 13.467, maka selama 14 tahun rupiah melemah Rp 5.000. Artinya, setiap tahun rupiah selalu mengalami pelemahan antara Rp 350 – Rp 370.
Apa penyebabnya ? Selain rupiah sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan (maka kedaulatan atau harga diri menjadi diperdagangkan), sebenarnya sejak AS gamang memenangi perang nilai tukar pada 2011, Indonesia terus mengalami defisit neraca perdagangan. Menoleh pada krisis AS tahun 2008, jalur penyebabnya adalah industri manufaktur yang mengakibatkan defisit neraca perdagangan dan jalur keuangan karena gagal bayarnya Fannie Mae dan Freddy Mac yang dipicu krisis Subprime Mortgage.
Sementara pada krisis 1997/1998 di Asean, khusus Indonesia, Thailand dan Korea Selatan dipicu oleh kejatuhan nilai tukar. Pada krisis 2008-2011, guna memulihkan perekonomian AS bukan hanya mem-bail-out, karena Federal Reserve juga melakukan kebijakan bunga rendah (zero interest rate policy) dan uang murah (quantitative easing).
Janet Yellen, Chairman Federal Reserve menyebut hal itu sebagai kebijakan moneter yang abnormal. Sebelumnya, harga-harga komoditas juga menurun, sebagai bagian dari upaya membantu pasar global pulih.
Tetapi semua itulah yang menyebabkan perekonomian Indonesia melambat. Secara eksternal, sebabnya antara lain ekspor menurun, nilai tukar dolar AS menguat, dan inflasi sangat dipengaruhi harga impor sehingga mengakibatkan maningkatnya biaya produksi. Saat beban biaya dari negara dipindahkan menjadi beban masyarakat yang pendapatannya marginal (karena mencabut subsidi BBM, listrik dan gas) di tengah angka Gini rasio mencapai 0,43 , tentu saja permintaan dalam negeri juga menurun. Padahal sebagian besar konsumsi hajat hidup orang banyak sangat tergantung pada nilai rupiah terhadap dolar.