Masyarakat Cilegon Jangan Khawatir, Begini Garansi Kejagung soal Kasus Krakatau Steel
“Sudah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan dari Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-14/F.2/Fd.2/03/2022 pada 16 Maret,” kata Ketut.
Kasus tersebut, kata dia, terjadi pada periode 2011-2019. Menurut dia, Krakatau Steel membangun pabrik Blast Flurance (BFC) bahan bakar batu bara untuk memajukan baja nasional dengan harga murah, jika dibandingkan dengan bahan bakar gas.
Pada 31 Maret 2011, lanjut Ketut, Krakatau Steel melakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik tersebut. Alhasil, dimenangkan oleh Konsorsium MCC Ceri dan PT. Krakatau Engineering.
Selanjutnya, Ketut mengatakan awalnya pendanaan pembangunan pabrik Blast Furnace dibiayai Bank ECA atau Eksport Credit Agency dari China. Dalam pelaksanaanya, ECA dari China tak menyetujui pembiayaan proyek itu karena EBITDA atau kinerja keuangan PT. Krakatau Steel (KS) tak menuhi syarat.
“Pihak PT KS mengajukan pinjaman ke Sindikasi Bank BRI, Mandiri, BNI, OCBC, ICBC, CIMB Bank, dan LPEI,” jelas dia.
Adapun, kata Ketut, nilai kontrak pembagunan ini sekitar Rp 6,9 triliun. Uang yang dibayarkan sebesar Rp 5,3 triliun. Rinciannya, dari bank luar negeri senilai Rp 3,5 triliun dan bank dalam negeri Rp1,8 triliun.
Pada 19 Desember 2019, Ketut mengatakan proses pembangunan dihentikan dengan alasan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.
Lalu, pekerjaan belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi alias mangkrak.