Mega Mengelus Dada
Krisis minyak goreng ini sangat memukul wong cilik. PDIP yang mengeklaim sebagai partai wong cilik seharusnya bekerja keras mengamankan kebutuhan wong cilik.
Mega sebagai ketua partai wong cilik harusnya menunjukkan simpati kepada rakyat. Namun, alih-alih bersimpati, Mega malah ngelus dada.
Minyak goreng menghilang Mega malah menyalahkan rakyat. Mungkin karena PDIP sudah terbiasa menghadapi kasus kehilangan, jadinya tenang-tenang saja.
PDIP, misalnya, sudah lama kehilangan Harun Masiku, en toch, tetap tenang-tenang saja.
Mega seharusnya bangga, rakyatnya militan dan tangguh dalam menghadapi tantangan. Tanpa memedulikan hujan dan angin, rakyat tetap bersemangat tinggi untuk mendapatkan minyak goreng.
Mega seharusnya bangga karena rakyat sekarang sudah lebih disiplin. Buktinya, tiap hari mereka mempraktikkan antre dengan tertib sampai mengular puluhan meter.
Mega juga bisa bernostalgia melihat antrean panjang itu, karena adegan seperti itu sudah lama tidak pernah terjadi. Dahulu, waktu Mega masih kecil saat bapaknya menjadi presiden, antrean panjang terjadi di mana-mana.
Antre menjadi pemandangan yang biasa. Namun, setelah itu tidak pernah lagi ada antrean. Jadi, sekarang Mega bisa bernostalgia mengenang antrean yang dahulu sering terjadi di masa Orde Lama.