DPR, Kemdagri dan Bawaslu Lawan Akal Sehat
Oleh karena itu, Mangunsong sangat menyayangkan DPR, pemerintah dan Bawaslu yang tidak peka bahwa korupsi adalah musuh bersama atau common enemy, sehingga untuk melawannya pun harus melibatkan semua komponen bangsa, salah satunya KPU.
“Ini untuk menciptakan detterent effect (efek jera), jangan sampai mereka yang pernah korupsi diberi panggung lagi untuk kemungkinan melakukan korupsi lagi. Juga untuk menciptakan terapi kejut (shock teraphy) bagi calon koruptor lainnya, supaya terbayang bahwa jika melakukan korupsi maka ke depan tak bisa ikut pemilu lagi,” jelasnya.
DPR, pemerintah dan Bawaslu, menurut Mangunsong, tak perlu mempertanyakan dasar hukum pelarangan eks-koruptor nyaleg, karena dasar hukumnya ya Peraturan KPU itu sendiri, dan bila mau dasar hukum yang lebih tinggi lagi, ialah Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Berdasarkan UU Pemilu, pelarangan caleg bekas napi koruptor bisa dilakukan lewat PKPU,” jelasnya.
KPU mencantumkan larangan bagi eks-narapidana korupsi nyaleg, baik untuk DPR RI maupun DPRD dalam Pemilu 2019, dalam Rancangan PKPU tentang Kampanye, khususnya Pasal 8 ayat (1) huruf j.
"Dalam UU Pemilu, pasal yang mengatur syarat untuk nyaleg ‘kan salah satunya bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, apa rinciannya? Tidak melakukan tindakan tercela. Apa rinciannya? Salah satunya ya tidak melakukan korupsi itu," lanjut dia.
“Masih banyak putra-putri bangsa yang patut jadi wakil rakyat, mengapa harus eks koruptor?" tambahnya.
Ia mengakui, Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebutkan seorang caleg yang akan maju tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan merupakan mantan terpidana.