Membangun Kembali Kultur Demokrasi Kita
jpnn.com - Oleh: Mohammad Jibriel Avessina, S.Sos, M.IP
Pengamat Perilaku Politik
Peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tanggal 21-22 Mei 2019 yang lalu merupakan realitas politik yang perlu untuk diulas sebagai refleksi untuk membaca realitas politik yang akan datang.
Menariknya, kerusuhan tersebut bertepatan waktunya dengan event rangkaian serial demonstrasi damai dengan aspirasi menolak hasil penghitungan KPU dalam pemilihan presiden yang lalu.
Namun demikian ternyata secara mengejutkan muncul kerusuhan sosial di beberapa lokasi di Jakarta. Kerusuhan tersebut diperkirakan memakan sekitar 8 orang korban jiwa dan 200 orang luka-Luka. Pada saat ini diperkirakan telah ada sekitar 300 orang yang menjadi tersangka yang diduga ikut ambil bagian dalam kerusuhan tersebut.
Fenomena kerusuhan sosial mengingatkan kita atas realitas politik di Indonesia. Pertarungan dalam kuasa politik kerapkali muncul dalam medium kerusuhan, konflik sosial serta harmoni sosial yang rendah.
Pakar perilaku politik Thomas Reuteur dalam karyanya The Once Future King: Utopianism and Political Practice in Indonesia menyebut situasi tersebut sebagai laku Goro-goro.
Politik goro-goro ditandai dengan menguatnya kepemimpinan kultus, polarisasi politik di masyarakat serta sikap anti-kritik yang kental bagi masing-masing kelompok politik, "pokoke pemimpin masing-masing kelompok yang paling baik.” Maka, pertarungan dalam politik goro-goro bukan lagi soal pertarungan ide-ide cerdas, program kerja maupun persaingan visi untuk membangun negeri.
Politik Goro-goro selalu mengeksploitasi keregangan sosial dan suasana saling curiga. Dalam politik goro-goro berlaku hukum rimba sosial, siapa yang paling kuat, keras dia yang akan menang, tak ada ruang dialog.