Menag Ucapkan Selamat Atas Pengukuhan Prof Benyamin Jadi Guru Besar Teologi Politik
Walau pada dirinya agama mengandung dua potensi paradoks, yaitu menumbuhkan kekerasan di satu pihak dan rekonsiliasi di pihak lain, tetapi revitalisasi agama publik dapat mengikis peran negatif agama untuk kemudian memaksimalkan peran positif agama-agama tersebut.
"Argumentasi tersebut dilatarbelakangi dari keprihatinan atas kondisi kebebasan dan toleransi beragama di tanah air," kata Prof Benyamin.
Mempertimbangkan wajah garang agama, Prof. Benyamin mengajukan pertanyaan yang mengungkapkan kegelisahannya.
"Bagaimana caranya agar kehadiran agama di ruang publik dapat membawa perdamaian serta kemaslahatan dan bukannya mudarat dan bencana?" katanya.
Prof Benyamin menjelaskan bahwa menanggapi kegelisahan ini, setelah menolak pendekatan Sekularisme yang dipelopori John Rawls dan mengkritisi pemikiran pasca-sekularisme Jürgen Habermas.
Prof. Benyamin menawarkan konsep “principled pluralism” (pluralisme yang berprinsip) yang diinisiasi oleh Abraham Kuyper (1837-1920), pemrakarsa gerakan neo-Calvinis Belanda.
Principled pluralism Kuyper, yang didasarkan pada teologi Reformed, khususnya pemikiran John Calvin (1509-1564), telah terbukti membangun masyarakat yang pluralis dan toleran bukan hanya di Eropa tapi juga di Amerika Serikat.
Prof Benyamin menyebut bahwa prinsip ini dapat diterapkan di Indonesia untuk membereskan masalah kebebasan dan toleransi beragama di dalam membawa kemaslahatan bangsa.