Menag Ucapkan Selamat Atas Pengukuhan Prof Benyamin Jadi Guru Besar Teologi Politik
"Singkatnya, principled pluralisme mengajarkan bahwa hidup ini religius dan manusia pada dasarnya adalah makhluk religius," katanya.
Prof Benyamin mengatakan karena menganggap agama sebagai hal yang mutlak, principled pluralism melalui prinsip sphere sovereignty dan confessional pluralism tidak sekadar memberi ruang bagi partisipasi agama-agama di dalam ranah publik, tetapi juga memotivasi dan mendorong agama-agama untuk memberikan kontribusinya.
"Dengan demikian, keterlibatan warga dalam ranah publik tidak dapat dipi¬sahkan dari gagasan religius yang dimilikinya," ungkapnya.
Dia menegaskan bahwa principled pluralism dapat menjadi lensa hermeneutika dalam membaca Pancasila. Penerapannya dapat dilihat dari sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” yang menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara agama (teokrasi).
Prof Benyamin mengatakan melalui sila pertama, Pancasila tidak mengakui adanya agama resmi. Dengan kata lain, confessional pluralism Kuyper sejalan dengan jiwa sila pertama.
Selain menunjukkan Indonesia bukan negara agama, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” juga sekaligus menunjukkan Indonesia bukan pula negara sekular.
Sila ini dengan jelas menunjukkan pengakuan Indonesia akan Tuhan. Ini sejalan dengan pemikiran Kuyper yang menekankan kedaulatan Allah di atas segala sesuatu, bahkan di atas negara.
"Dari perspektif principled pluralism, dalam negara Pancasila, sekalipun lembaga keagamaan terpisah dari negara, namun entitas agama dan entitas politik tidak terpisahkan, seperti dinyatakan Kuyper, “no separation between religion and state but only between state and church.” Dengan demikian Indonesia bukan negara agama (theocratic state), bukan pula negara sekuler (secular state), tetapi negara religius (religious state) yang mengakui dan tunduk kepada kedaulatan Allah, dimana Kuyper mendefi¬nisikan negara religius sebagai 'a nation not without God.'" jelas Prof Benyamin.