Mendesain Pembiayaan Pemilu Efektif
Pembatasan sumbangan dana kampanye dari perorangan maupun badan hukum selama ini sudah dilakukan dengan pembatasan sumber-sumber sumbangan dan jumlah nominal sumbangan yang diberikan.
Namun demikian hampir keseluruhan sumber sumbangan adalah pihak ketiga yang meskipun dibahasakan “sumbangan tidak mengikat” namun sebetulnya justru “mengikat” karena komitmen yang berkaitan dengan kebijakan. Hal ini sama saja “menggadaikan” keputusan-keputusan politik kepada para pemilik modal.
Praktik-praktik seperti ini dalam jangka panjang akan membahayakan arah pembangunan nasional karena pada hakikatnya telah membiarkan kekuatan politik nasional “tersandera” oleh kepentingan para pemodal.
Dari sini maka penting untuk dimunculkan pengaturan bukan saja soal sumber pendanaan partai politik serta sanksi yang diberikan jika terbukti parpol menerima sumber pendanaan yang tidak sah secara hukum, namun memberikan alternatif pembiayaan politik yang dapat menjadikan partai politik tidak bergantung pada pihak ketiga.
Pilihan kemudian jatuh pada APBN. Mengapa? Sebagai pilar demokrasi, partai politik berhak memperoleh perhatian yang sama besar dengan pilar demokrasi yang lain; dan setidaknya menjawab upaya mengentaskannya dari jeratan kepentingan “asing”.
Apakah partai politik perlu mendapatkan alokasi dana dari APBN atau APBD? Ataukah kegiatan pemilu saja yang didanai oleh APBN/ APDB? Jika ya berapa besar?
Dalam pelaksanaan pemilu, pembiayaan terbesar yang harus dikeluarkan oleh peserta pemilu adalah biaya kampanye; meliputi logistik kampanye, operasional kampanye (terbatas, terbuka, penyampaian visi-misi, debat kandidat, dst), serta kampanye media massa (cetak, elektronik, medsos).
Dalam bayangan penulis, APBN dapat saja memberikan insentif bagi peserta pemilu dalam bentuk dukungan logistik kampanye yang secara langsung diserahkan kepada peserta pemilu, penyediaan ruang-ruang kampanye yang teragendakan dan terjadual secara pasti.