Menelisik Indonesia
Oleh Dr. Lestari Moerdijat, S.S., M.M, Wakil Ketua MPR RIRUU TPKS dan RUU PPRT bermuara pada sebuah masalah sosial yang terus digaungkan setiap tahun. Kesetaraan gender.
Mungkin saja para pembahas undang-undang melihat kedua draft undang-undang sangat bernada perempuan. Melupakan keadaan hakiki perempuan dan laki-laki adalah setara. Melupakan bahwa urusan tenaga kerja domestik bukan melulu persoalan perempuan.
Paradigma berpikir bias mestinya tak mendapat tempat dalam dinamika pengambilan kebijakan apalagi yang berkaitandengan tujuan bernegara dan menjawab aspirasi publik.
Di tengah jerit kelompok yang tak henti mencari keadilan, sebagian dari kita justru berteriak untuk amandemen konstitusi yang nyatanya bukan representasi suara publik. Hak Asasi Manusia (HAM) terabaikan karena kepentingan politik, misalnya hak-hak masyarakat adat yang sampai hari ini belum juga diakomodir dalam sebuah payung hukum perlindungan melalui RUU Masyarakat Hukum Adat.
Terorisme masih dibiarkan langgeng, menciptakan masalah di tengah kerukunan masyarakat yang makin menguat. Pada saat yang sama tuntutan menanamkan nilai-nilai kebangsaan terus menggema, merangkul seluruh anak bangsa tanpa kecuali sesuai nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Upaya menanamkan nilai luhur kebangsaan ditempuh melalui pembelajaran sejak dini. Bahwa generasi milenial dan generasi Z adalah aset masa depan bangsa, generasi penerus yang kelak menjadi pemimpin patut dibekali dengan pendidikan yang memadai menyambut Indonesia Emas. Dampak pandemi pada dunia pendidikan menyisakan celah yang perlu dibenahi, learning loss.
Kegiatan pendidikan masih dilakukan secara daring, meski sejak November terdapat beberapa daerah yang sudah menerapkan pembelajaran tatap muka (PTM).
Pembelajaran daring tak serta memenuhi kebutuhan belajar para naradidik sehingga diperlukan pembehanan dengan menyiapkan kurikulum adaptif, peningkatan kompetensi guru dan perbaikan infrastruktur jaringan internet.