Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Mengapa Singapura Bisa Indonesia Tidak?

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 28 Januari 2022 – 17:11 WIB
Mengapa Singapura Bisa Indonesia Tidak? - JPNN.COM
Warga memakai masker pelindung menyeberang jalan di tengah penyebaran penyakit Covid-19 di Singapura. Foto: ANTARA/REUTERS/Caroline Chia

Disiplin tinggi dan etos kerja yang kuat membuat ekonomi Singapura melesat cepat.

Dari rentang 1966 ke 2013, produk domestik bruto (PDB) riil per kapita Singapura tumbuh lima belas kali lipat, tiga kali lebih cepat dari Amerika Serikat, dan terbesar ketujuh di dunia. Satu dari enam keluarga di Singapura dilaporkan memiliki tabungan sebesar USD 1 juta.

Lee juga berhasil membangun sejumlah perusahaan negara dan menjadikannya setara dengan perusahaan swasta global. Ia misalnya memajukan perusahaan holding negara, Temasek, yang mengendalikan modal sejumlah bank sampai dengan perusahaan semikonduktor. Temasek kini mengendalikan modal lebih dari USD 200 miliar.

Singapura membayar mahal pertumbuhan ekonomi itu dengan kebebasan politik warganya. Selama lebih setengah abad, Lee telah membuat negeri itu bungkam dari kritik kaum oposan.

Kaum oposisi, masyarakat sipil, dan gerakan buruh telah dikikis sepanjang setengah abad melalui pemenjaraan tanpa pengadilan. Nyaris seluruh surat kabar, TV dan radio dimiliki dan dijalankan oleh pemerintah.

Catatan kebebasan pers di Singapura memang buruk. Pada 2014, Reporters Sans Frontier menempatkan negeri itu di peringkat 150, hanya sedikit di atas Kongo, Meksiko, dan Irak.

Lee kukuh pada pendapatnya bahwa praktik demokrasi hanya akan melemahkan kestabilan politik, dan juga kemajuan ekonomi. Strategi yang dijalankan Lee adalah memisahkan ekonomi sebuah masyarakat dari politik, dengan tujuan memelihara kekuasaan absolut dan mengejar pertumbuhan ekonomi.

Lee tahu sebagian besar generasi muda Singapura--yang tak merasakan pahitnya negeri itu bertumbuh, menginginkan kebebasan lebih besar. Ketika gelombang demokrasi melanda Asia Tenggara di paruh 80-an, Lee membaca gelagat itu.

Singapura mengenal takut, Indonesia tidak takut apa pun, bahkan kepada Tuhan pun tidak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close