Mengapa Singapura Bisa Indonesia Tidak?
Oleh: Dhimam Abror DjuraidKetiga negara itu berhasil menerapkan sistem kapitalisme tanpa demokrasi liberal. Ketiga pemimpin itu bisa memberikan kemajuan ekonomi tanpa memberikan kebebasan politik. Ketiga tokoh itu memimpin dengan tangan besi dengan tingkat sukses yang berbeda-beda.
Singapura tetap bertahan sebagai negara yang makmur pasca-Lee Kuan Yew. Malaysia secara politik tidak stabil setelah era Mahathir.
Namun, secara ekonomi Malaysia masih tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonomi dengan stabil. Indonesia tercerai-berai setelah Soeharto dan sampai sekarang masih tetap belum bisa menemukan stabilitas dan kesetimbangan baru.
Singapura adalah sebuah model, dan sosok seperti Lee Kuan Yew barangkali hanya lahir sekali dalam sejarah. Lee menjadi perdana menteri sejak 1959 sampai 1990. Pada 1965 Singapura memisahkan diri dari Malaysia karena hubungan rasial Tionghwa dan Melayu yang tidak harmonis.
Singapura hanya sebuah kota pelabuhan dari era kolonial. Daerah itu bahkan masih penuh nyamuk di setiap pojoknya. Negara baru itu tak punya daerah penyangga penghasil produk pangan. Bahkan untuk sumber air saja, Singapura harus bergantung pada Johor, negara bagian Malaysia.
Pelan-pelan Lee membangun mental masyarakat Singapura. Demi ketertiban itu, Lee keras mengatur seluruh aspek hidup masyarakat Singapura. Ia tak memberi tempat bagi oposisi. Lee menekan partai politik, mengendalikan media.
Ia menciptakan berbagai macam tata tertib, sampai, misalnya, melarang warganya mengunyah permen karet. Setiap pelanggaran disiplin dihukum dengan denda.
Saking banyaknya denda sampai media Eropa menyindir dengan menyebut Singapura sebagai ‘’The Fine City’’, alias kota denda.