Mengekspos Kehidupan Muslim Amerika Lewat Komedi
Sayang, citra itu tidak bertahan lama. Setelah peristiwa 11 September 2001 alias 9/11, Nanjiani mulai mengalami banyak masalah ketika tampil sebagai komika.
Menurut dia, menjadi seorang muslim kala itu sangat sulit. ”Saya hanya berpikir, oke, saya berkulit cokelat dan punya aksen bicara aneh. Tidak ada alasan untuk menyembunyikan diri,” ujarnya, menguatkan diri sendiri.
Parahnya, hal itu terjadi saat dia memulai karir sebagai pengisi acara Saturday Night Live sekaligus komika. ”Tiap akan mulai tampil, saya mengawalinya dengan bilang, ’Tenang saja, saya ada di sisi (muslim, Red) yang baik,’” lanjut Nanjiani.
Dia pernah beberapa kali diinterupsi penonton. Penonton yang dingin juga pernah dia hadapi. Pemilik gelar ganda di bidang psikologi dan ilmu komputer tersebut menceritakan, panggung mati itu terjadi di sebuah klub di Milwaukee.
Ketika dia memulai penampilannya, penonton hanya membisu. Lelucon-lelucon yang dia lontarkan tak berhasil memunculkan tawa sedikit pun. ”Saya grogi sehingga guyonannya juga tidak sempurna,” tutur dia.
Namun, Nanjiani tidak menyerah. Dia pilih ambil risiko dengan sekalian berpura-pura mengaku sebagai teroris saja. ”Kalian benar, saya teroris dengan kerja sampingan komika, biar tidak terkesan sombong,” ucapnya.
Namun, dengan beragam kisah yang dilaluinya, Nanjiani tidak lantas berambisi membikin The Big Sick menjadi ajang sindiran buat kalangan yang punya sentimen terhadap muslim, sebagaimana ditegaskan produser Judd Apatow.
”Ini bukan film yang politis. Ini kisah keluarga muslim yang terbuka. Namun, dengan kondisi sekarang, apa pun bisa dianggap politis. Kami menyerahkan sepenuhnya kepada penonton,” papar Apatow.