Mengenal Tukirin Partomihardjo, 34 Tahun Meneliti Biota Krakatau
Bertiga Nyaris Mati Dihujani Batu Berapi’’Dalam kepanikan itu, saya sempat berpikir akan mati saat itu,’’ kenangnya.
Letusan tersebut hanya berlangsung beberapa menit. Tiga orang yang tengah berada di sekitar Krakatau selamat. Tukirin, misalnya, beruntung karena terhindar dari hujan batu besar panas yang berjatuhan di pantai Selat Sunda, tempat dirinya mengamankan diri. ’’Bayangkan kalau batu itu menimpa saya,’’ ungkapnya.
Namun, kepanikan Tukirin cs belum selesai. Setelah erupsi, datanglah abu vulkanis yang turun dengan cepat. Tukirin beruntung lagi karena abu vulkanis itu bukan awan panas yang bisa menghanguskan apa saja yang dilewati, termasuk tubuh manusia.
’’Kami langsung naik ke speedboat. Lucunya, saya dipeluk erat-erat oleh Pak Swastika sambil ditanya, ’Ini Pak Tukirin, bukan?’ Saya jawab iya, lha ini kaki saya,’’ ujarnya, lalu tertawa mengenang jawaban seadanya tersebut.
Sejak saat itu, kata Tukirin, Swastika tidak bersedia lagi mengeluarkan rekomendasi untuk mengunjungi gunung yang masih aktif tersebut. ’’Sebab, aktivitas gunung itu tidak bisa diprediksi sama sekali, berbeda dengan teori manusia,’’ kenang Tukirin.
Seusai peristiwa itu, Tukirin sempat ditanya Swastika, bagaimana cara dirinya selamat dari letusan Gunung Krakatau. Saat mendengar bahwa Tukirin memilih berjalan, Swastika langsung mengingatkan bahwa cara itu salah.
”Cara yang benar saat menghadapi erupsi adalah berhenti dahulu, melihat ke atas untuk mengetahui ke mana arah batu erupsi melayang, baru berjalan menghindar,” kata Tukirin menirukan jawaban Swastika.
Tukirin mengatakan, sejatinya alam sudah memberikan kesempatan kepada manusia untuk kembali meneliti Krakatau. Pascaerupsi 1883, Krakatau sebenarnya sudah hilang, hanya menyisakan tiga pulau kecil yang menjadi kaki gunung, yakni Rakata, Sertung, dan Panjang. Namun, alam kemudian menunjukkan lagi Gunung Krakatau pada 1930, saat muncul kaldera baru yang kini dinamai Anak Gunung Krakatau.