Mengentaskan Kemiskinan Melalui Pendidikan
Oleh: Fransiscus Go, Pemerhati Pendidikan dan KetenagakerjaanPeraturan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI. Pada Pasal 30 Ayat 1 disebutkan pekerja migran tidak dapat dibebani biaya penempatan. Jika hal ini terealisasi, PMI tidak perlu meminjam uang ke rentenir agar bisa berangkat ke luar negeri.
Kelima, pemerintah pusat atau pemerintah daerah melakukan intervensi dengan pemberian workshop melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Pemerintah daerah juga bisa membuat regulasi dan mengawasi swasta yang menyalurkan PMI ke luar negeri. Jika belum ada swasta yang mumpuni dalam menjalankan regulasi tersebut, pemda bisa menjalankannya melalui BUMD.
Keenam, masyarakat NTT bekerja sama melawan TPPO melalui Bajaga. Bajaga merupakan gerakan swadaya dari masyarakat sendiri untuk menjaga desanya dari bahaya agen-agen liar yang menyesatkan informasi penempatan tenaga kerja.
Meningkatkan Kesejahteraan Melalui Pendidikan
Alasan PMI bekerja di luar negeri tentunya karena kesempatan kerja yang sesuai dengan pendidikan dan kompetensi mereka sangat terbatas. Hal ini terkait dengan pendidikan rendah tanpa skill mumpuni tentunya akan menyulitkan seseorang mendapatkan pekerjaan. Apalagi, setiap orang menginginkan gaji memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pilihan termudah untuk mendapatkan gaji tinggi yang bisa mereka akses adalah menjadi PMI di luar negeri.
Pendidikan merupakan gerbang masa depan bagi kehidupan semua orang. Pendidikan memegang kunci kesejahteraan seseorang. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitian pemenang nobel ekonomi yaitu Abhijit Banerjee, Esther Duflo dan Michael Kremer. Esther Duflo meneliti kebijakan SD Inpres yang dibentuk pemerintah Indonesia pada tahun 1973—1978. SD Inpres merupakan salah satu kebijakan yang dibuat pada masa kepresidenan Soeharto.
Program SD Inpres telah mendorong proporsi populasi masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan pendidikan dasar. Pendidikan berpengaruh pada peningkatan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan. Menurut Duflo, keberhasilan pembangunan pendidikan memberikan dampak pengembalian ekonomi sekitar 6,8 hingga 10,6 persen. Penelitian Duflo ini membuktikan pendidikan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian seseorang.
Menurut data dari BPS, jumlah partisipasi usia sekolah SD-SMP di NTT sebenarnya sudah mencapai angka 80%, namun anak yang menempuh pendidikan SMA dan pendidikan tinggi hanya mencapai 20%. Tentunya hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan angka partisipasi anak yang menempuh SMA dan pendidikan tinggi.
Pemerintah hendaknya terus mendorong angka partisipasi anak yang menempuh pendidikan SMA dan pendidikan tinggi. Dengan demikian, anak-anak yang memiliki pendidikan cukup mampu bersaing dan memiliki pilihan pekerjaan yang lebih baik. Mereka tidak lagi memandang bekerja sebagai PMI merupakan alternatif meningkatkan taraf hidupnya.