Menguat, Desakan Cabut Tarif Progresif 900 Persen
Tarif fenomenal ini juga berlaku di Cikarang Dry Port (Indonesia) dimana juga memberlakukan free charge hingga hari ke-5. Untuk hari ke-6 dan seterusnya diberlakukan tarif tetap sebesar US$ 3,8 (20 feet) dan US$ 7,6 (40 feet).
Saat dihubungi Zaldy Ilham Mashita, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menilai bahwa perubahan tarif progresif itu tetap saja masih menempatkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan biaya timbun yang paling tinggi di antara pelabuhan-pelabuhan yang ada di Asean. Hal ini sangat tidak kondusif dan sesuai dengan program pemerintah untuk bisa bersaing di MEA.
“Negara-negara lain biaya timbunnya sangat rendah bahkan gratis sampai hari ketiga tapi dwelling timenya bisa lebih baik dari Indonesia. Jadi ada masalah besar di sistem pelabuhan kita,” ujarnya. “Kita berharap Pelindo 2 tidak mengambil keuntungan dari tarif progresif yang sangat tinggi ditengah biaya logistik yang tinggi di Indonesia.”
Agar lebih adil, lanjut Zaldy, selain penalti berupa tarif progresif juga harus ada insentif bagi pemilik barang yang bisa mengeluarkan barangnya lebih cepat. Insentif ini berupa potongan biaya THC pelabuhan, sehingga semua pihak bisa berusaha utk memperbaiki dwelling time.
Selain itu, kata Zaldy pentingnya membuat sistem yang terintegrasi dari shipping line, operator pelabuhan, bea cukai dan lembaga terkait, bank, dan trucking yang dikelola oleh pihak independen atau pemerintah.
“INSW seharusnya bisa menjadi platform ini tapi sampai sekarang belum bisa dan tingkat reliabilitas masih rendah. Sistem terintegrasi juga mencegah face to face antara pihak yg terkait dan lebih transparan,” ujarnya. (rl/sam/jpnn)