Mengurai Solusi Kekerasan Seksual Anak
Oleh: Nihayatul WafirohPenelitian sosial (Erlinda, 2014) menyebut bahwa kekerasan seksual anak akan berdampak pada kerusakan saraf di bagian cortex. Anak mengalami gangguan emosi, kemampuan sosial, halusinasi, serta perilaku beresiko terhadap kesehatannya, seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan perilaku seksual di usia lebih dini.
Semua tindakan kekerasan seksual yang dialami anak akan terekam dalam alam bawah sadar dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan bahkan sepanjang hidupnya. Maka tak heran jika penelitian ini menyebut bahwa dampak lain yang paling parah adalah 70% kemungkinan anak yang mengalami kekerasan seksual akan menjadi pelaku di kemudian hari.
Pada titik inilah penting menghentikan kekerasan seksual anak dengan berpijak pada perpektif kebutuhan korban. Trauma korban dapat disembuhkan, sehingga rantai dan budaya kekerasan bisa terhindarkan.
Oleh karena itu, pasal 23 UU TPKS yang menegaskan bahwa tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, dan korban berhak atas restitusi serta layanan pemulihan, harus dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Penyelesaian kasus kekerasan seksual harus dilakukan secara konprehensive, yaitu melalui pendekatan budaya dan pendekatan hukum.
Pendekatan budaya bertujuan membuka pemahaman di masyarakat bahwa kekerasan seksual anak adalah kejahatan kemanusiaan serius, yang harus dihindari yaitu dengan melakukan transformasi budaya, yang masih memandang perempuan sebagai pelayan atau objek pemuas nafsu seks laki-laki, menjadi perempuan dan laki-laki adalah makhluk setara, yang saling membutuhkan kehidupan seksual yang aman dan nyaman. Keduanya adalah subyek yang harus saling menghormati dan melengkapi.
Budaya kesetaraan gender diyakini dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual anak, karena kekerasan terjadi akibat adanya pola relasi kuasa yang tidak seiimbang antara pelaku dan korban. ECPAT (End Child Prostitusion In Asia Toutrism) menyebut bahwa kekerasan seksual dilakukan oleh seorang dewasa dengan seorang anak seperti saudara sekandung, orang asing, maupun orang tua; anak diposisikan sebagai pemuas kebutuhan seksual pelaku. Kekerasan seksual anak cenderung dilakukan dengan paksaan, ancaman, suap dan tipuan pelaku kekerasan.
Selain itu, budaya kesetaraan gender juga mendorong keluarga dan masyarakat untuk tidak mentoleransi kekerasan seksual anak. Sehingga keluarga tidak lagi menganggapnya sebagai aib yang harus ditutupi bak api dalam sekam, yang berakibat pada kekerasan berkelanjutan. Keluarga dan masyarakat akan melihat kasus kekerasan seksual anak sebagai persoalan serius yang harus diselesaikan secara psikologi-sosial dan hukum.