Menimbang Risma, Djarot dan Rizal Ramli untuk DKI
Oleh: Osmar Tanjung*jpnn.com - FAKTA penolakan dari berbagai kalangan terhadap Basuki T Purnama semakin santer muncul setiap hari dari berbagai penjuru DKI Jakarta. Ada yang sekadar penolakan oleh warga, komunitas tertentu, bahkan kader partai.
Namun, yang menarik adalah penolakan kader-kader PDIP di bawah terhadap Ahok. Penolakan itu bahkan dilakukan di depan kantor DPP PDI Perjuangan.
Penolakan juga datang dari tokoh masyarakat, cendekia, pemuka agama, aktivis demokrasi dan LSM, hingga budayawan. Penolakan juga datang dari kalangan wong cilik, terutama masyarakat miskin kota, nelayan dan masyarakat lainnya di Jakarta.
Bentuk penolakan juga bermacam-macam. Tidak hanya bentuk aksi, melainkan juga dalam bentuk pernyataan, opini, hingga menulis surat terbuka kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo.
Seiring maraknya media sosial, penolakan atas Ahok juga dituangkan dalam bentuk meme. Adakalanya penolakan dilakukan sembari mendukung calon gubernur DKI selain Ahok.
Proses penolakan yang terus dikapitalisasi secara politik pun bergulir bak bola salju yang semakin hari semakin keras dan masif. Namun, sepertinya puncak penolakan atas Ahok terjadi pada Rabu, 7 September 2016 ketika Front Wong Cilik dari berbagai elemen masyarakat melakukan aksi besar-besaran di kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Dipanegoro, Jakarta Pusat.
Dalam aksi itu, massa juga menuliskan surat kepada Megawati dan membacakannya. Isi surat yang dibubuhi cap jempol darah itu dibacakan wanita bernama Desi, korban penggusuran Rawa Sengon, Tanah Merah, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Surat itu berisi curahan hati warga agar Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum PDI Perjuangan tidak mengusung Ahok pada pilkada DKI 2017. Sejauh ini memang ada keyakinan bahwa PDIP tak akan mengusung Ahok.