Menjadi Catatan Buruk Kejaksaan
Minggu, 21 Juni 2009 – 14:31 WIB
JAKARTA - Kaburnya Djoko Tjandra, terpidana kasus dana hak tagih (cessie) Bank Bali Rp 546 miliar, menjadi catatan kinerja Kejaksaan. Korps Adhyaksa dinilai tidak mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi ketika mengajukan upaya hukum, seperti Peninjauan Kembali (PK) ke Mahmakah Agung.
"Logikanya ketika mengajukan PK, berarti optimis menang. Nah harus diantisipasi sebelumnya," kata Sekretaris Jenderal Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Andri Gunawan kepada JPNN kemarin (20/6). Antisipasi itu berlaku terhadap terdakwa maupun aset-asetnya. "Kalau orangnya (terdakwa) tidak ditahan, berati harus terus dipantau," sambung dia.
Andri juga mempertanyakan efektifitas unit intelijen yang ada dalam tubuh Kejaksaan. Sebab, intelijen berfungsi memperkirakan keadaan untuk mengamankan penegakan hukum. "Ini efektifitas intelijen jaksa bagaimana dalam kasus ini," katanya. Dia menyebut, kasus kaburnya Djoko Tjandra mirip dengan kasus Adelin Lis, terpidana kasus kasus korupsi dan pembalakan liar (illegal logging).
Adelin Lis sudah menghilang sebelum putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum pidana 10 tahun penjara beserta denda Rp 1 miliar. "Kejaksaan seharusnya belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya," terang Andri.