Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Menuju Cita Demokrasi Deliberatif

Oleh: Benny Sabdo - Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara & Panwas Kota Jakarta Utara Pilkada DKI 2017

Sabtu, 05 November 2022 – 09:00 WIB
Menuju Cita Demokrasi Deliberatif - JPNN.COM
Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara & Panwas Kota Jakarta Utara Pilkada DKI 2017 Benny Sabdo. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Politisasi SARA berpotensi menjadi penganggu utama dalam penyelenggaran pemilu. Kecemasan terhadap politisasi SARA muncul karena politik identitas telah dikapitalisasi untuk kepentingan politik praktis (Puadi, 2020: 45).

Pilkada DKI Jakarta 2017 dapat menjadi referensi, bagaimana penggunaan politisasi SARA pada pelaksanaan pilkada menjadi gaduh.

Imbas dari fenomena Al-Maidah sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pilkada DKI Jakarta 2017.

Selain Ahok berhadapan dengan kasus hukum atas laporan dugaan penistaan agama, pelaksanaan pilkada DKI Jakarta diwarnai dengan adanya sentimen keagamaan atau politisasi SARA dalam bentuk spanduk yang tidak bertuan, misalnya “Dilarang Memilih Pemimpin Kafir; Ahok Sumber Masalah, Ganyang Cina, Penjarakan Ahok.“

Akhirnya termasuk politik aksi massa yang dikemas dalam “Aksi Bela Islam 212” dan sebagainya bermunculan di ruang publik.

Di samping adanya penggunaan politisasi SARA, terdapat sejumlah dampak yang ditimbulkan dalam dinamika pilkada DKI Jakarta, antara lain adanya sejumlah tindakan menghalangi pelaksanaan kegiatan kampanye, penelantaran jenazah yang dianggap pembela dan pendukung Ahok dan dampak psikologis antarkelompok beragama.

Dengan adanya persepsi penolakan sekelompok masyarakat terhadap calon pemimpin non-muslim yang berujung pada tindakan menghalangi kampanye. Hal ini dapat memengaruhi pemilih anti-terhadap calon tertentu yang didasari pada alasan perbedaan agama. Menghalangi kampanye merupakan wujud dari politik yang tidak demokratis.

Para pendiri bangsa Indonesia menyadari, untuk masyarakat plural dengan aneka fragmentasi sosial-budaya, model demokrasi yang sebaiknya dikembangkan tidaklah menganut majoritarian, melainkan model permusyawaratan (konsensus) yang inklusif. Secara teoritis hal ini memperoleh artikulasinya dalam model demokrasi deliberatif.

Politisasi SARA berpotensi menjadi penganggu utama dalam penyelenggaran pemilu. Kecemasan terhadap politisasi SARA muncul karena politik identitas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News