Omnibus Law dan Demokrasi Deliberatif
jpnn.com - Oleh: Arjuna Putra Aldino
Ketua Umum DPP GMNI 2019-2022
Pemerintah saat ini sedang melakukan upaya reformasi hukum berupa Omnibus Law. Skema hukum ini diambil dalam rangka untuk menarik investasi mengingat pemerintah selama ini belum mampu secara maksimal mendongkrak laju investasi untuk masuk ke Indonesia.
Hal ini dibuktikan di awal September tahun lalu, sebanyak 33 industri merelokasikan pabriknya dari Tiongkok namun tak ada satupun yang masuk Indonesia. Vietnam menjadi negara tujuan utama investasi tersebut. Dari jumlah industri yang merelokasi, 23 di antaranya memutuskan pindah ke Vietnam.
Namun upaya reformasi hukum ini justru menuai kontroversi. Tak jarang mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat, seperti serikat buruh dan organisasi mahasiswa. Omnibus Law yang pada mulanya dimaksudkan sebagai upaya reformasi hukum justru mengundang polemik dan kegaduhan publik. Problem pada tataran proses perancangan dan isi sejumlah pasal menjadi sorotan. Sehingga Omnibus Law nampak seperti jauh dari tujuan awal Presiden yakni menyederhanakan regulasi.
Kondisi Hiper-regulasi
Saat ini Indonesia dapat dikatakan berada dalam kondisi hyper-regulasi. Hal ini dapat dilihat dari catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bahwa sebanyak 10.180 regulasi diterbitkan pada 2014 hingga November 2019.
Regulasi itu terdiri dari 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan presiden, dan 8.684 peraturan menteri. Jumlah regulasi yang banyak ini seringkali saling tumpang tindih dan tidak selaras. Sehingga di lapangan tak jarang menciptakan keruwetan birokrasi, tumpang tindih wewenang hingga menegasikan satu sama lain. Dengan kata lain, kondisi hiper-regulasi dapat menyebabkan lemahnya efektivitas dan efisiensi kinerja birokrasi.