Merpati Terancam Batal Jadi Perintis
Senin, 23 Februari 2009 – 09:01 WIB
Kontrak pembelian 15 pesawat MA-60 senilai USD 232,4 juta atau sekitar Rp 2 triliun diteken pada 7 Juni 2006. Sebagai bagian dari transaksi, Merpati lebih dulu menyewa dua pesawat selama 24 bulan sejak 30 Januari 2007 dengan tarif USD 70 ribu per bulan per unit. Belakangan, Depkeu selaku pemegang saham (wakil pemerintah) menilai, jika kontrak dilaksanakan, utang Merpati bisa membengkak.
Jumlah order pesawat dinilai terlalu banyak. Xian mendesak agar Merpati menerima 13 pesawat lain. Karena alasan keuangan, Merpati hanya akan mengambil tujuh unit. Xian menolak dan berencana menggugat Rp 1 triliun sebagai bentuk wanprestasi. "Merpati bilang itu sesuai anggarannya. Karena itu, mereka minta apakah boleh dikurangi menjadi 7 saja. Di sinilah masalahnya," tutur Menhub.
Menurut Menhub, pencarian solusi itu tidak hanya penting bagi Merpati, tetapi juga pemerintah. Sebab, kalau Merpati tidak bisa bayar, pemerintah RI harus menanggung. Kedubes Tiongkok dan pemerintah Indonesia telah membentuk tim negosiator untuk memfasilitasi. "Prinsipnya, kita hormati kontrak, tapi tidak boleh membuat Merpati bangkrut," jelasnya. (wir/dwi)