Mestinya JICT Jadi Milik Indonesia Sepenuhnya
Dari perpanjangan ini, Pelindo II mendapat pembayaran uang muka senilai USD 215 juta yang dapat digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur pelabuhan lainnya.
Namun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki fakta berbeda. BPK menemukan indikasi kerugian keuangan negara pada proyek yang dilaksanakan PT Pelindo II minimal sebesar USD 306 juta atau ekuivalen Rp 4,08 triliun dengan kurs Rp 13.337 per dolar Amerika Serikat.
"Temuan ini merupakan hasil pemeriksaan investigatif atas perpanjangan kerja sama pengelolaan PT JICT," kata Masinton, Sabtu (24/6).
Dia menjelaskan, pemeriksaan BPK itu sebagai tindak lanjut surat dari DPR nomor PW/02699/DPR RI/II/20l6 tanggal 16 Februari 2016 kepada Ketua BPK tentang pengajuan permintaan pemeriksaan investigatif hasil temuan Pansus Angket Pelindo II atas perpanjangan perjanjian kerja sama pengelolaan dan pengoperasian PT JICT antara PT Pelindo II HPH.
Berdasar hasil pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan adanya indikasi berbagai penyimpangan dalam proses perpanjangan perjanjian kerja sama pengoperasian PT JICT yang ditandatangani 5 Agustus 2014.
"Cara-cara untuk memperpanjang kontrak kerja sama tersebut terindikasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujar politikus PDI Perjuangan ini.
Indikasi kerugian negara ditemukan akibat adanya perpanjangan kontrak pengelolaan JICT oleh Pelindo II kepada HPH pada tahun 2015. Padahal, kontrak pengelolaan JICT baru selesai pada tahun 2019.
Dengan demikian, HPH akan kembali mengelola JICT hingga tahun 2039. Bahkan, perpanjangan kontrak ini tidak ada di dalam rencana kerja, tanpa melalui rapat umum pemegang saham (RUPS), dan sebagainya.