Modal Habis Rp 30 Juta, Karya Tak Laku-Laku
Setelah praktik dengan motif sederhana, ia mencoba menjualnya. Nahas, tak ada yang mau membelinya.
”Sejak awal, isti tidak setuju. Apalagi lihat hasilnya sampai numpuk tiga almari dan tak laku,” ucapnya sembari meringis.
Pada 1 Januari 2010, ia tengah di Madura. Ia memang berniat berhenti. ”Modal habis, hasil nggak laku. Saya binggung,” akunya.
Entah kenapa, bersamaan dengan niat berhenti, tetangganya ada yang menelepon terus-menerus hingga akhirnya ia mengangkat telepon tersebut. ”Ada ibu-ibu yang telepon saya. Laporan, kalau kainnya habis minta dibelikan. Ya saya jawab saja, sekarang sudah bisa batik kan? Ya sudah selesai. Tapi ibu-ibu itu menyadarkan saya, wong sudah bisa kok malah mau berhenti. Akhirnya, saya lanjutkan lagi,” kenangnya.
Tak lama, pria 47 tahun ini diberi kesempatan oleh Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Kota Magelang untuk ikut pameran batik di Jakarta dan pelatihan batik. Saat itu, namanya mulai dikenal.
Tapi ada hal menggelikan yang ditemukan saat ikut pameran. Batik-batik yang menurutnya kurang bagus justru yang laku.
”Batik tulis pewarnaan alam, saya banderol Rp 400 ribu, sama sekali nggak ada yang laku. Setelah saya ganti harganya jadi Rp 1 juta, eh malah laku. Padahal ada yang cantingannya kurang jelas dan pokoknya belum maksimal. Sampai sekarang saya masih heran, kenapa itu bisa terjadi,” ceritanya.
Dari 175 kain untuk pameran, separuh lebih yang laku sehingga Agus bisa membawa pulang uang Rp 80 juta. ”Alhamdulillah, bisa buat modal lagi dan saya semakin semangat,” katanya sembari tersenyum.