Muhasabah Olah Sampah
Aretha ApriliaHARI peduli sampah jatuh pada tanggal 21 Februari lalu untuk memperingati kejadian tragedi longsor sampah di Leuwigajah, Jawa Barat, pada tahun 2005. Sejalan dengan semangat dan komitmen membudayakan konsep 3R (reduce, reuse, recycle) serta demi mencapai visi Indonesia Bersih Sampah 2020, berbagai kegiatan terkait pengelolaan sampah berbasis komunitas kian menjamur di Indonesia. Beberapa waktu lalu seorang dokter muda dari Malang, Gamal Albinsaid, memperoleh penghargaan Young Sustainability Entrepreneur yang diserahkan oleh Pangeran Charles di London
Inisiatif “asuransi sampah” yang digagasnya berhasil mencuri perhatian dunia. Ide gemilang ini merupakah salah satu bentuk inovasi dan pengembangan dari konsep ‘Bank Sampah’ yang sudah banyak diimplementasikan di Indonesia. Di Jakarta sendiri sudah terdapat sekitar 94 lokasi yang menjalankan program bank sampah. Meski demikian, terdapat beberapa lokasi yang tidak berhasil melaksanakan bank sampah secara berkelanjutan karena kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam memilah sampah di sumbernya. Hal tersebut karena kurang atau tiadanya insentif dari kegiatan pemilahan sampah. Sehingga skema “asuransi sampah” ini menjadi salah satu alternatif pull-factor yang cerdas bagi masyarakat untuk secara aktif memilah sampah dan terlibat dalam 3R.
Sampah yang dibuang sembarangan menjadi salah satu kambing hitam dari faktor penyebab terjadinya banjir yang dialami ibukota Jakarta belakangan ini. Padahal menurut penelitian yang pernah dilakukan penulis pada tahun 2012, hampir 60% dari total sampah yang dihasilkan rumah tangga di Jakarta merupakan sampah organik yang bisa dibuat kompos. Sedangkan prosentase sampah anorganik yang bisa didaur ulang melebihi 20%. Jika dikonversikan dalam nilai ekonomi, bila sampah terpilah optimal maka terdapat potensi pendapatan sebesar US$ 115 juta per tahun untuk DKI Jakarta dari penjualan sampah anorganik yang dapat didaur ulang.
‘Emas Hijau’ vs ‘Emas Hitam’
Sampah sebetulnya mengandung potensi ekonomi yang besar namun masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Di negara-negara maju, sampah merupakan aset yang sangat berharga. Bahkan Swedia pun harus mengimpor sampah dari negara tetangga karena kegiatan 3R yang dianggap sangat atau malah ‘terlalu’ berhasil. Sehingga pihak pengolah sampah menjadi energi (waste-to-energy) kekurangan bahan baku karena sampah yang ada jumlahnya sedikit akibat reduksi di sumber.
Ketika saya bicara di seminar yang diselenggarakan oleh Asian Development Bank di Bandung akhir Januari lalu terkait peluang bisnis dalam kaitannya dengan pengelolaan sampah yang berkelanjutan, saya memperoleh pertanyaan mengenai kemungkinan aplikasi teknologi insinerasi yang sudah banyak dipakai di negara-negara maju. Mengingat perekonomian Indonesia yang meningkat, dibarengi dengan harga lahan yang makin mahal, metode insinerasi sampah untuk menghasilkan energi dianggap sebagai alternatif.
Namun saya menyampaikan bahwa kondisi di lapangan menunjukkan besarnya porsi sampah basah organik, selain juga kondisi masyarakat yang secara umum masih belum mau memilah sampah di sumbernya. Kedua hal tersebut menghambat aplikasi teknologi insinerasi yang secara teknis lebih efektif mengolah sampah kering. PBB program lingkungan (UNEP) pun menyatakan bahwa insinerasi secara umum tidak layak diaplikasikan di negara-negara non-OECD karena biaya yang tinggi dan komposisi sampah yang tidak sesuai untuk insinerasi.