Muhibah Anies
Oleh: Dhimam Abror DjuraidBagi orang lain sikap bermartabat dan bermuruah itu secara serampangan disebut sebagai bentuk politik identitas.
Diskursus mengenai politik pengakuan dan martabat terus berkembang sampai di persimpangan antara pengakuan universal atas hak-hak individu, dan cabang lainnya mengarah pada peryataan identitas kolektif yang dimanifestasikan dalam bentuk nasionalisme dan agama yang dipolitisasi.
Dalam hal agama yang dipolitisasi, Fukuyama juga menyebut islamisme di awal abad 20 sebagai tuntutan atas pengakuan status khusus untuk Islam sebagai dasar komunitas politik.
Ia melihat fenomena nasionalisme maupun islamisme muncul sebagai ekspresi identitas kelompok yang merespons modernisasi dan perubahan sosial serbacepat yang merusak bentuk-bentuk komunitas yang mapan.
Fukuyama menegaskan bahwa tidak ada yang salah dari politik identitas, sebab ia merupakan respons alami dan tak terhindarkan dari ketidakadilan yang terjadi.
Namun, ia berubah menjadi masalah saat identitas ditafsirkan atau ditegaskan dengan cara tertentu, misalnya tindakan kekerasan seperti terorisme, atau tindakan memisahkan diri seperti separatisme, atau mengganti dasar negara menjadi negara agama.
Di Amerika Serikat politik identas menguat karena terjadi ketidakadilan ekonomi dan keterancaman kultural. Masyarakat konservatif Amerika merasa bahwa liberalisme ekonomi mengancam kepentingan nasional, antara lain, karena mengalirnya imigran ke Amerika.
Liberalisme juga menjadi ancaman kultural karena maraknya LGBT (lesbian, gay, bisksual, dan transgender) yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama.