MUI Resmi Tolak Penambahan Masa Jabatan Presiden
jpnn.com, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Hal ini disampaikan resmi oleh MUI saat menggelar pertemuan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
Sikap MUI itu dibacakan oleh Ketua MUI Pusat Bidang Pendidikan dan Kaderisasi Basri Bermanda. Hadir dari perwakilan MPR, yaitu masing-masing wakil ketua, Jazilul Fawaid, Hidayat Nur Wahid dan Fadel Muhammad.
Basri mengatakan, ada enam poin sikap MUI mengenai wacana amendemen Undang-undang Dasar 1945. Hadir juga Sekretaris Jenderal MUI Pusat Anwar Abbas dan petinggi MUI.
"Satu, MUI mengharapkan wacana perubahan UUD 1945 atau amandemen konstitusi hendaknya oleh MPR dipertimbangkan terlebih dahulu dengan lebih matang, mendalam, penuh kehati-hatian dan memperhatikan berbagai asprasi kelompok masyarakat dan parpol," kata Basri.
Kedua, lanjut Basri, apabila MPR RI tetap melaksanakan perubahan UUD 1945, maka MUI dapat memahai hal tersebut sepanjang agendanya hanya terkait dengan masuknya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi kewenangan lembaga yang kini dipimpin oleh Bambang Soesatyo itu.
Hanya saja Basri menekankan tetap mempertahankan sistem presidensial dan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
"Tiga, MUI menilai perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan pada awal era reformasi, 1969 sampai 2002, telah menghasilkan berbagai keputusan yang sangat fundamental dan telah sesuai dengan semangat dan merupakan wujud dari tuntutan reformasi, sebagai perubahan konstitusi tersebut telah memberikan dasar hukum yang sangat kuat, bagi terwujudnya penyelenggaraan negara yang demorkatis dan modern," kata dia.
Keempat, tambah Basri, MUI menegaskan bahwa hasil-hasil perubahan UUD 1945 tetap dipertahankan dalam ketentuan konstitusi. Antara lain, masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dan kedudukan lembaga negara yang sejajar dan setara