Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Naik Sepeda

Oleh: Dahlan Iskan

Minggu, 30 Juli 2023 – 07:07 WIB
Naik Sepeda - JPNN.COM
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Kami bertiga (anak-anaknya) selalu senang dan dengan sungguh-sungguh mendengarkan ceritanya. Seperti yang saya rangkum berikut ini:

Ibu saya merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Figur ayahnyi yang dipanggilnyi dengan sebutan Rama (baca: Romo), ibu dapatkan dari kakak laki-laki tertua. Ibu dan saudara-saudaranyi ditinggal ayah berpulang ketika ibu saya masih kecil. Sosok ibunyi yang disebutnya "simbok" sangat berarti dalam kehidupannyi. Berbekal sebidang sawah sambil berjualan suruh (sirih untuk menginang) di pasar, Simbok tetap menjanda dalam membesarkan keempat anak-anaknyi.

Ketika masih bersekolah di SR (Sekolah Rakyat) ibu saya terjangkit malaria, penyakit yang menjadi pandemi pada saat itu. Memerlukan waktu 2 tahun untuk pemulihan sampai rambutnya yang rontok kembali tumbuh, sehat, hitam dan lebat. Pulihnya kesehatan ibu membuat semangatnyi bangkit. Ingin melanjutkan sekolah tapi bukan di sekolah yang lama, malu katanyi. Sekalipun teman-teman dan gurunyi datang membujuk, ibu tidak mau. Ibu ingin bersekolah di SKP (Sekolah Kepandaian Putri). Sekolah Kartini, namanya. Terletak di pusat kota Gombong, bukan di desa seperti sekolah sebelumnya.

Dengan semangat, ibu yang seharusnya sudah duduk di kelas 6, rela mengulang di kelas 4.

[6/27, 01:35] Yani Jkt:
Tentu saja ibu menjadi murid yang pintar. Sering terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai perlombaan dan menjadi juara. Karena itu ibu menjadi murid kesayangan para guru. Satu moment yang paling diingatnyi, ketika ibu menyampaikan keinginan kepada Simbok: "Mbok, aku terpilih menjadi salah satu anggota barisan inti untuk mengikuti karnaval dalam memperingati HUT Kemerdekaan RI. Tapi... aku harus memakai sepatu warna putih".

Kemudian.. Simbok membelikannya dan di saat itulah, untuk pertama kalinya ibu ke sekolah memakai sepatu.

Saya membayangkan betapa senang dan bangganya mereka berdua, Simbok dan anak wedoknyi. Sungguh bahagia ibu bisa mewujudkan keinginannya bersekolah di Sekolah Kartini. Sekolah yang diimpikannyi. Sekolah yang semua muridnya perempuan, begitu juga para guru dan kepala sekolahnya. "Hanya tukang kebun sekolah yang laki-laki", kata Ibu, mengenang.

[6/27, 01:36] Yani Jkt:
Seingat Ibu, usia sekolah pada masa itu tidak ditentukan mulai umur 7 tahun, tetapi bisa lebih tua. Maka ketika ibu menyelesaikan SKP-nya ibu merasa sudah cukup dewasa. Beramai-ramai bersama teman-teman seangkatan, ibu mulai melamar pekerjaan. Peluang bekerja di Perum Peruri di Jakarta, tidak direstui Simbok. Simbok tidak ingin anak ragilnya jauh darinya. Djawatan Koperasi di Kebumen, menjadi tujuan ibu selanjutnya. Tidak disangka-sangka, di sanalah ibu bertemu dengan seorang pemuda dewasa yang dengan berani menemui Simbok untuk melamar putrinya. Melihat sosok yang jauh lebih dewasa, Simbok merestui dengan harapan figur ayah untuk putrinya bisa tergantikan. Di tahun 1963 setelah menunggu 6 tahun, lahirlah anak pertama mereka, kakak laki-laki saya. Ibu melahirkan saya pada Oktober 1965, kita semua tahu apa yang terjadi pada waktu itu. Suasana politik sedang panas-panasnya, semua serba kacau.

INILAH contoh seseorang yang awalnya hanya bisa menulis satu-dua kalimat, lantas bisa menjadi penulis yang baik. Bisa bercerita.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News