Nasib Miris Pedagang Batik di Kota Batik
jpnn.com - GUBERNUR Jawa Timur Soekarwo pada 2009 telah menetapkan Pamekasan, Madura, sebagai Kota Batik. Pemasok batik, Desa Klampar, Kecamatan Proppo, juga ditetapkan sebagai Kampong Batik. Ironisnya, penetapan Kota dan Kampong Batik tidak berjalan lurus dengan nasib pedagang batik.
MOH. ALI MUHSIN, Pamekasan
”MAU beli batik, ya? Ini batiknya bagus-bagus, silakan dipilih,” panggil pedagang batik kepada Jawa Pos Radar Madura, saat mengunjungi kios batik di Pasar 17 Agustus, Kelurahan Bugih, Kecamatan Kota Pamekasan, kemarin (20/2).
Deretan kios batik di Pasar 17 Agustus banyak yang tutup. Bahkan, lebih banyak kios yang tutup daripada yang buka.
Sebagian kecil pedagang terlihat putus asa berjualan batik di Pasar 17 Agustus. Sebab, pengunjung sepi. Pembeli pun merosot. Kondisi itu dialami pedagang batik sejak tiga tahun terakhir.
”Sekarang, pembeli batik sangat sepi. Sehari, kadang tidak ada yang laku satu pun dagangan batik saya,” tutur Moh. Syahid, 30, pedagang batik, asal Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan.
Menurut Syahid, berjualan batik di Pasar 17 Agustus sempat mengungtungkan. Apalagi, pada 2009–2013.
Kios batik di pasar tersebut ramai oleh pengunjung yang memburu dan membeli batik tulis. Pembeli datang dari berbagai daerah, memadati Pasar 17 Agustus.